Pelestarian Lingkungan dalam Al-Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kelestarian lingkungan dalam hidup umat manusia
memiliki peran yang besar bagi kelangsungan hidupnya, karena itulah alam dan
manusia saling membutuhkan. Kebutuhan sandang, papan, dan pangan berasal dari
alam sekitar. Manusia juga, sebagai makhluk-Nya, bergantung pada bahan-bahan
yang disediakan dan tersedia dalam ekosistem kehidupan. Maka, ketika perilaku
destruktif umat manusia dibiarkan merajalela di abad teknologis dan modernis
seperti sekarang ini, kelestarian alam akan terancam sehingga diperlukan upaya
pencegahan (preventif).
Al-Qur’an, sebagai kitab petunjuk (hudan li al-naas),
diturunkan Allah ke muka bumi untuk menanggulangi kesengkarutan tatanan
kehidupan umat manusia. Pelestarian, pemeliharaan, dan pengelolaan lingkungan
hidup dari segala bentuk pengrusakan merupakan pesan dakwah yang disampaikan
Tuhan melalui sejumlah ayat Al-Quran. Pesan dakwah tersebut selalu
diekspresikan dalam konteks bagaimana kedudukan, fungsi, dan peran manusia sebagai
mukhâthab utamanya dalam kaitan dengan hak dan kewajibannya di muka
bumi, yakni dalam konteks habl min Allâh, habl min al-nâs, dan habl
ma’a al-`âlam.
Posisi al-Qur’an bagi umat Islam sebagai petunjuk (al-hudan),
penjelas (bayyinat), dan pemilah (al-furqan) atas persoalan dan
kejadian yang melingkupi kehidupan di muka bumi. Dengan demikian, ketika
berhadapan dengan persoalan kerusakan lingkungan di muka bumi, Al-Qur’an dapat
dijadikan rujukan merancang bagaimana seharusnya umat manusia memperlakukan
lingkungan sesuai substansi yang tersirat maupun tersurat dalam ayat qauliyah
maupun ayat kauniyah yang diturunkan Allah Swt.
Pada makalah ini penulis mencoba menelaah ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkenaan dengan relasi kosmik antara manusia dengan alam
sekitar. Diharapkan umat Islam dapat menjadikan substansi makalah ini untuk
kepentingan pelestarian lingkungan, sebagai bukti pelaksanaan ajaran “rahmatan lil
alamin”. Hemat penulis, lingkungan merupakan tanggung jawab seorang manusia
sebagai hamba (al-abdu’) dan pemimpin di muka bumi (khalifah fi
al-ardh) untuk secara konsisten menjaga kelestarian lingkungan hidup di
sekitar.[1]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, makalah
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengertian lingkungan?
2. Apa permasalahan lingkungan?
3. Bagaimana tahap-tahap pelestarian lingkungan dalam
al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujan:
1. Untuk mengetahui pengertian lingkungan.
2. Untuk mengetahui permasalahan lingkungan di sekitar
kita.
3. Untuk mengetahui tahap-tahap pelestarian lingkungan
dalam al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Lingkungan
Lingkungan dapat dimaknai dengan beberapa hal, di
antaranya adalah semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan.[2]
Secara mudah lingkungan dipahami sebagai semua yang melingkupi kita dan berada
di sekitar kita.
Yusuf al-Qardlawi mendefinisikan lingkungan sebagai
sebuah lingkup di mana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya, baik ketika
bepergian ataupun mengasingkan diri, sebagai tempat ia kembali, baik dalam
keadaan rela atau terpaksa.[3]
Lingkungan ini meliputi lingkungan yang bersifat dinamis (lingkungan hidup) dan
lingkungan yang bersifat statis (lingkungan mati). Lingkungan hidup bisa berupa
kehidupan manusia sendiri maupun kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sedang
lingkungan mati berupa alam semesta yang diciptakan Allah dan juga berbagai
bangunan yang diciptakan manusia.
Pengertian lingkungan secara harfiah adalah segala
sesuatu yang mengitari kehidupan, baik berupa fisik seperti alam jagat raya
dengan segala isinya, maupun berupa non-fisik, seperti suasana kehidupan
beragama, nilai-nilai dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang, serta teknologi.[4]
Dalam arti yang luas lingkungan mencakup iklim dan
geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam.
Dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam
alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik
manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak, kejadian-kejadian
atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang. Sejauh mana seseorang
berhubungan dengan lingkungannya, sejauh itu pula terbuka peluang masuknya
pengaruh pendidikan kepadanya. Tetapi keadaan itu tidak selamanya bernilai
pendidikan, artinya mempunyai nilai positif bagi perkembangan seseorang, karena
bisa saja malah merusak perkembangannya.[5]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa lingkungan meliputi segala kondisi fisiologis manusia, seperti gizi,
syaraf, peredaran darah, pernafasan, dan sebagainya, kondisi psikologis
manusia, mencakup segenap stimulus yang diterima manusia sejak dalam masa
prenatal, kelahiran, sampai mati. Kondisi sosial cultural meliputi interaksi
dan kondisi yang bersifat social, adat istiadat, dan juga kondisi alam
sekitarnya.
Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruangan dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk
didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan
perikehidupan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Semua makhluk
hidup sebenamya bertempat tinggal didalam suatu lingkungan yang semuanya
merupakan struktur dasar ekosistem.
Sistem lingkungan atau yang sering disebut ekosistem
merupakan contoh bagaimana sebuah sistem berjalan. Ekosistem merupakan suatu
gabungan kelompok hewan, tumbuhan dan lingkungan alamnya dimana didalamnya
terdapat aliran atau gerakan atau transfer materi, energi dan informasi melalui
komponen – komponennya.
Sebagai suatu sistem, lingkungan harus tetap terjaga
sehingga sistem itu dapat berjalan dengan teratur dan memberikan manfaat bagi
seluruh anggota ekosistem. Manusia sebagai mahluk yang sempurna, yang telah
diberikan amanah untuk menjadi khalifah memiliki peran penting dalam
menciptakan dan menjaga keteraturan lingkungan dan sistem lingkungan ini. Untuk
itulah manusia dituntut untuk mengembangkan perilaku yang baik terhadap
lingkungan.[6]
Di dalam Al-Qur’an Allah Swt memerintahkan agar
manusia memberikan perhatian pada lingkungannya, seperti tentang kejadian bumi,
gunung-gunung dan onta-onta. Firman Allah Swt dalam Surat al-Ghasyiyah ayat
17-20.
أَفَلَا
يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧
وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيۡفَ رُفِعَتۡ ١٨ وَإِلَى ٱلۡجِبَالِ كَيۡفَ نُصِبَتۡ
١٩ وَإِلَى ٱلۡأَرۡضِ كَيۡفَ سُطِحَتۡ ٢٠
Artinya:
(17). Maka Apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, (18). dan langit, bagaimana ia
ditinggikan? (19). dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (20). dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?.[7]
B.
Persoalan (Problem) Lingkungan
§ Persoalan
Lingkungan di Sekitar Kita
1.
Gangguan Sampah
Sampah merupakan
problem lingkungan yang mungkin akan terus berlangsung di tengah masyarakat
dalam kesehariannya. Budaya tertib sampah yang dicanangkan pemerintah ternyata
belum mampu menanggulangi secara tuntas. Apalagi jenis sampah semakin hari
seolah semakin beragam, sehingga proses penanganannyapun memerlukan metode yang
beragam pula.
Di sekitar
pedesaan sampah relatif mudah ditangani lantaran lahan pembuangan masih mudah
dihasilkan. Namun terkadang kecerobohan masyarakat membuat masalah ini menjadi
serius. Hingga selain menimbulkan gangguan bau tidak sedap, beragam penyakit
juga mungkin timbul akibat penumpukan sampah yang akhirnya menjadi sarang
nyamuk. Lain halnya masalah yang dihadapi daerah perkotaan akibat sampah.
Selain lokasi pembuangan yang sulit didapatkan, minimnya daerah resapan air
membuat sampah-sampah menggunung menyumbat saluran-saluran air hingga
mengakibatkan genangan air atau bahkan banjir.
Dalam fenomena
ini, syariat sebenarnya telah mengatur secara lengkap tentang konsep penanganan
sampah. Sampah merupakan sisa-sisa pemanfaatan yang menurut Islam harus dibuang
sesuai dengan tempatnya. Membuang sampah di sembarang tempat, apalagi di tempat
tempat umum, tidak diperkenankan. Bahkan jika hal tersebut berakibat negatif,
syariat memberikan sangsi-sangsi sesuai tingkat gangguan yang ditimbulkan.
Sedangkan mengenai penanganan sampah, syariat berbicara secara garis besar,
bahwa sampah dalam bentuk apapun sebenarnya harus dicarikan tempat sebagai
lokasi pembuangan. Hanya saja harus berbentuk tempat yang layak atau lazim (‘urfi)
digunakan sebagai pembuangan.1 Dikarenakan standar yang terpakai dalam syariat
adalah kelaziman masyarakat (‘urfi), maka metode penanganan sampah
dengan bentuk apapun, selama tidak menimbulkan masalah baru, tentu baik untuk
dilakukan. Jangan sampai sampah-sampah plastik yang ditangani melalui metode
daur ulang pabrik, kemudian berubah mengakibatkan gangguan polusi yang
ditimbulkan oleh pabrik tersebut.
2.
Air Kotor adalah Sarang Penyakit
Genangan air bisa
timbul dari berbagai macam sebab, mungkin adakalanya disebabkan kecerobohan
sebagian masyarakat yang minim tempat pembuangan. Atau mungkin akibat dari sisa
sisa air bah atau banjir yang kerap melanda kawasan tertentu. Genangan air yang
berada di pinggiran pemukiman, empang-empang kering, atau bahkan di jalan-jalan
umum, tidak hanya sekedar merusak keindahan dan menimbulkan bau tak sedap.
Namun tempat tempat itu sangat berpotensi menjadi sarang utama nyamuk-nyamuk
pembawa penyakit. Mungkin hampir tiap tahun kita direpotkan dengan penyakit
demam berdarah, penyakit demam yang kerap kali merenggut nyawa penderitanya.
Nyamuk aydes ayghipti sebagai penyebar penyakit ini mayoritas berkembang
biak pada genangan-genangan air. Problema semacam ini termasuk budaya kotor
yang jelas tidak selaras dengan nilai nilai syariat. Islam selalu menganjurkan
melakukan budaya bersih dan selalu mencintai keindahan. Standarisasi air dalam
konsep thaharah merupakan contoh paling sederhana dari budaya bersih dan
heigenis dalam Islam. Air kotor (berubah sebab najis ataupun yang lain) maupun
air yang diperkirakan tidak lagi hiegenis (berubah secara prediksi) dalam thaharah,
tidak diperbolehkan digunakan sebagai sarana penyucian. Di sisi lain,
syariat juga tegas melarang setiap individu membuat genangan-genangan air,
ketika hal itu akhirnya akan berdampak gangguan atas orang lain. Bahkan syariat
menetapkan sangsi serius ketika genangan tersebut berada di tempat tempat umum
serta mengakibatkan kecelakaan atas orang lain.
Dari pemaparan di
atas dapat kita pahami bahwa pemanfaatan air serta pembuangannya harus selalu
mengutamakan prinsip-prinsip kesehatan maupun keamanan bagi diri sendiri maupun
orang lain. Sehingga ketika prinsip itu kita aplikasikan, bagi semua lapisan
masyarakat wajib bahu membahu dalam mengatasi setiap permasalahan lingkungan.
Karena secara tidak langsung hal itu merupakan pengejawantahan nilai nilai
agama.[8]
§ Fenomena
Lingkungan di Perkotaan
1.
Polusi Udara
Secara
prinsip, pemanfaatan udara dalam syariat telah diatur dengan begitu longgar,
selama tidak berhubungan dengan udara di sekitar wilayah kepemilikan pribadi.
Membuat fasilitas melewati wilayah udara di atas rumah-rumah penduduk, harus
melalui ijin mereka. Karena menurut syariat, wilayah udara yang berada di atas
sebuah kepemilikan secara hukum mengikuti status kepemilikan tempat yang berada
di bawahnya.4 Bahkan pemanfaatan wilayah udara dari tempat-tempat umum juga
diperkenankan selama tidak menimbulkan ekses negatif.
Asap
kendaraan, asap pabrik maupun pencemar udara lain sebenarnya tidak secara
langsung timbul dari pemanfaatan udara. Hanya saja, ketika gangguan itu
dihasilkan melewati udara, secara tidak langsung hal itu merupakan
penyalahgunaan wilayah udara yang seharusnya bersifat netral. Dalam hal ini
syariat menggaris bawahi, bahwa pemanfaatan udara yang diperkenankan adalah
penggunaan secara wajar dan tidak sampai mengganggu atau bahkan menimbulkan
ekses negatif bagi orang lain. Selain menetapkan sangsi, syariat juga
memperkenankan pemerintah menindak pelaku pencemaran ketika mengakibatkan
dampak negatif pada level tertentu, selama terbukti bahwa kesalahan itu memang
diakibatkan prosedur yang tidak benar.
2.
Taman Hijau Perkotaan
Demi
mengatasi polusi serta memperbaharui kemampuan serapan air di daerah perkotaan,
pemerintah akhirnya berinisiatif mencanangkan program penghijauan serta
penggalakan taman hijau perkotaan. Taman hijau perkotaan lebih diprioritaskan
untuk kawasan yang tingkat polusinya relatif tinggi. Asap kendaraan masih
menduduki ranking tertinggi penyebab terjadinya polusi udara, selain asap-asap
produksi yang berasal dari pabrik serta yang berasal dari proses pembakaran
sampah di daerah perkotaan.
Dalam
wacana syariat, menanam tanaman yang bermanfaat merupakan sebuah anjuran. Bahkan
ketika pepohonan tersebut dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya, Islam
mengkategorikannya sebagai sedekah yang selalu mengalir. Tentunya hal ini dapat
kita kontekstualisasikan dalam model penghijauan, dimana selain sebagai tempat
berteduh, kemanfaatan dalam mengatasi masalah polusi tentu akan berpahala lebih
maksimal.
Namun
dalam hal ini syariat juga menghimbau pemerintah agar bijaksana dalam membangun
sarana semacam ini. Dalam arti, lokasi taman perkotaan harus berada di tempat
strategis serta tidak menimbulkan permasalahan baru.8 Di samping itu, perawatan
pepohonan juga harus dilakukan oleh semua pihak, pemerintah sebagai
penanggungjawab dibantu oleh masyarakat yang berada di sekitarnya. Karena agama
Islam menganggap pepohonan dengan segala kemanfaatannya adalah merupakan aset
yang tidak boleh ditelantarkan begitu saja.
Secara
umum dapat kita pahami bahwa pembuatan taman perkotaan merupakan kebutuhan
penting yang layak untuk diprioritaskan. Islam memandang, pembuatan fasilitas
semacam ini akan menjadi wajib karena memperhitungkan kemanfaatannya serta
kepentingan yang terlanjur mendesak. Islam dalam hal ini sekaligus menyadarkan
bahwa kestabilan lingkungan sebenarnya bukan hanya tanggungjawab pemerintah,
akan tetapi menjadi tanggungjawab yang harus dipikul bersama oleh semua pihak.[9]
3.
Limbah
Pabrik
Kawasan
Industri terutama di daerah perkotaan seringkali membawa masalah baru di tengah
carut marutnya kehidupan perkotaan. Proses produksi yang sudah banyak
menimbulkan masalah lingkungan, ternyata harus menelan korban lingkungan untuk
kedua kalinya pada saat pembuangan/ penampungan limbah limbah produksinya sudah
di luar batas kewajaran. Dan tidak jarang pabrik-pabrik yang berlokasi tidak
jauh dari tempat pemukiman terpaksa harus berurusan dengan masyarakat sekitar,
gara gara limbahnya merusak area persawahan, sumber sumber air atau bahkan ada
yang sampai menelan korban. Limbah biasa mungkin relatif kecil pengaruhnya,
akan tetapi limbah yang berasal dari produksi bahan kimia ataupun limbah limbah
beracun tentu dampaknya akan lebih meluas, tidak hanya pada lingkungan namun
juga pada nyawa manusia.
Sebenarnya
pemerintah dalam hal ini telah menerapkan aturan standar pengolahan limbah,
namun masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran dari beberapa oknum yang
hanya memikirkan keuntungan bisnis tanpa mempedulikan dampak dari perbuatannya.
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip ketaatan pada setiap aturan pemerintah,
terlebih lagi jika aturan itu demi kemaslahatan umum, secara totalitas semua
rakyat wajib mentaati tanpa terkecuali. Pemerintah menerapkan aturan pengolahan
limbah jelas demi kepentingan rakyat (maslahat al-’ammah), karena selain
demi mengantisipasi keresahan rakyat hal itu secara umum merupakan kepedulian
pemerintah akan lingkungan hidup.
Secara
mikro syariat menggambarkan permasalahan semacam ini dalam sebuah kasus
perembasan air dari sebuah tempat penampungan, dimana ketika penyebab dari
kejadian itu adalah dari pemanfaatan secara prosedural (muwafiq al-’adah)
dan masih dalam batas kewajaran, maka syariat masih bisa mentolerirnya. Namun
jika sampai hal tersebut dilatarbelakangi oleh pemakaian yang tidak prosedural
(mukhalif al-’adah), apalagi sampai di luar batas kewajaran, syariat
secara tegas mewajibkan adanya tindakan maupun penetapan sangsi sesuai akibat yang ditimbulkan.
Hukum
semacam ini terlaku ketika belum bersentuhan dengan aturan pemerintah yang
mengikat. Padahal
dalam hal ini pemerintah jelas menetapkan larangan membuang limbah tidak secara prosedural, berarti secara mutlak
pemerintah berwenang menindak maupun menetapkan ganti rugi atas setiap kerusakan lingkungan
yang ditimbulkan. Prinsip ini selaras dengan kewajiban utama pemerintah yakni, melakukan
kebaikan demi dan untuk rakyat serta mengantisipasi setiap ekses negatif yang mungkin timbul (fi’lu
al-ashlah wa raf’u al-dlarar).[10]
4.
Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai
Tanah pinggiran
sungai merupakan fasilitas umum yang selama ini menimbulkan banyak sengketa.
Mereka yang sudah lama menempati kawasan tersebut mengklaim daerah ini
merupakan tanah warisan yang sah kepemilikannya, sedangkan dari pihak
pemerintah melalui program penertiban berusaha merapikan kawasan kota serta
bermaksud memperluas area aliran air guna kepentingan mengantisipasi banjir. Di
daerah perkotaan, banjir lebih banyak disebabkan luapan air sungai di pinggiran
kota akibat daerah aliran air yang semakin menyempit termakan sampah maupun
bangunan-bangunan yang semarak menghiasi kawasan tersebut.
Menurut syariat,
daerah aliran air sungai disebut dengan harim al-nahar yang secara hokum
merupakan daerah yang tidak bertuan dan selamanya tidak bisa dimiliki oleh
siapapun. Karena daerah tersebut merupakan milik umum sebagai sarana
pemanfaatan sungai. Pemanfaatan yang diperkenankan dalam kawasan ini hanya
bersifat non permanen, artinya optimalisasi dari kawasan ini bukan sebagai
lahan bangunan pribadi maupun lahan tanaman. Bangunan boleh didirikan asalkan
demi pemanfaatan sungai, tidak mengganggu, tidak mengurangi fungsi sungai,
serta statusnya tidak boleh diatas namakan sebagai kepemilikan. Bahkan syariat
menetapkan sangsi ganti rugi sebagai kompensasi pemanfaatan fasilitas umum bagi
oknum yang berani menyalahi ketentuan tersebut.
Dari wacana ini
dapat kita pahami bahwa setiap kepemilikan yang diklaim atas daerah aliran air
bukan merupakan kepemilikan yang legal secara syariat. Hanya saja ketika
terjadi ketidakjelasan status atas wilayah tersebut, maka bagi pemerintah tidak
diperkenankan semena-mena menertibkannya, karena kepemilikan itu menurut
syariat dimungkinkan dari jalur yang legal. Sehingga pemerintah perlu
berhati-hati ketika menertibkan daerah ini, andai tidak disertai bukti kuat
tentang status kepemilikannya, karena terkadang masyarakat sudah mendiaminya
selama berpuluh-puluh tahun.
Sebenarnya secara
mayoritas pemerintah dalam usaha penertibannya telah melakukan hal yang selaras
dengan prinsip-prinsip dalam syariat. Meskipun di satu sisi masyarakat yang
berada di kawasan tersebut rata-rata merupakan rakyat kecil, namun karena
status kepemilikannya tidak diakui syariat, berarti mereka bersalah dalam
permasalahan ini. Namun tentunya pemerintah harus lebih bijak menyelesaikan
problema ini, karena ketika penertiban dilakukan rakyat di kawasan itu akan
kehilangan tempat tinggal, padahal di sisi lain kewajiban memelihara rakyat
kecil merupakan tanggung jawab pemerintah.
5.
Banjir
Timbunan sampah,
penyempitan daerah aliran air, serta merosotnya kualitas serapan dari tanah
merupakan alasan-alasan utama terjadinya banjir. Timbunan sampah dan
penyempitan daerah aliran air menyebabkan penyumbatan aliran air hingga
akhirnya meluap ke luar jalur. Merosotnya kualitas resapan dari tanah karena
penebangan hutan dan pepohonan menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan
tanah sulit melakukan penetrasi ke arah bawah, sehingga cenderung mengalir dan
sulit untuk dihentikan.[11]
Dalam sudut lingkungan hidup, pokok perhatian dewasa
ini berkisar pada beberapa aspek yang dirasakan sebagai tekanan krisis yang
membahayakan kelangsungan hidup manusia khususnya manusia Indonesia. Dalam
suasana keadaan sekarang, dengan melihat ke masa depan, seakan-akan menonjol
tiga persoalan dasar yang berkaitan dengan lingkungan hidup yaitu:
1. Perusakan dan perampokan hutan di Indonesia yang
mencapai 600.000 hektar pertahun dan terus meningkat intensitasnya hingga tahun
1990-an menjadi 1, 2 juta hektar pertahun dan sekarang sudah mencapai 2 juta
hinggi 2,4 juta hektar pertahun atau dalam perkiraannya setiap satu menit hutan
Indonesia hilang seluas enam kali lapangan sepak bola. Jika hal ini terus
dilakukan maka pada tahun 2010, hutan dataran rendah di daerah Sumatra dan
Kalimantan akan habis. Dan untuk saat sekarang hutan dataran rendah di sudah
dibilang nyaris habis. Akibatnya bisa dipastikan, jika hutan di dataran rendah
habis maka akan terjadi penambangan hutan di dataran tinggi dan itu akan sangat
membahayakan manusia. Indonesia boleh bangga dengan gelar nomor tiga setelah
Brazil dan Republik Demokrasi Konggo untuk kategori luas hutan tropis, tetapi
nampak hanya semu dan kamuflase belaka.
2. Perusakan sumber daya laut. Luas laut Indonesia yang
sebesar 70% atau 2/3 dari dataran nusantara juga sudah dirusak
ekosistemnya. Penangkapan ikan di laut dengan menggunakan bom dan racun hingga
rnenyebarkan berbagai residu telah mengakibatkan rusaknya terumbu karang,
polusi laut dan meracuni makanan ikan yang ada di laut. Akibatnya, setelah
racun itu menyebar maka akan membahayakan dan mematikan ikan dan mahluk hidup
laut lainnya.
3. Komersialisasi berbagai sumber daya alam yang
menyangkut hajat hidup orang banyak yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya
untuk kesejahteraan rakyat. Berbagai eksploitasi terhadap waduk, mata air, dan
tanah-tanah adat yang mengandung tambang yang kemudian dikuasi oleh perusahaan,
baik dalam negeri maupun asing, telah mengakibatkan langkanya sumber daya air
dan rusaknya sumber daya alam Indonesia serta menyengsarakan rakyat sekitarnya.
Karenanya harus dirumuskan langkah-langkah strategis
untuk merumuskan berbagai kebijakan yang mendukung pelestarian hutan, sumber
daya mineral dan tambang, sumber daya laut dan lainnya.[12]
C. Tahap-Tahap
Pelestarian Lingkungan dalam Al-Qur’an
Adapun tahap-tahap ataupun langkah-langkahnya yang
disebutkan dalam buku fikih lingkungan adalah sebagai berikut.
1. Manusia Mengemban
Tugas Untuk Menjaga Bumi
Manusia
sebagai makhluk yang dominan, sebagai salah satu unsur lingkungan hidup adalah
makhluk Allah yang paling baik ciptaannya dan mempunyai kedudukan serta
martabat yang mulia di dunia. Manusia lebih sempurna dan mempunyai kemampuan
yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya yang diciptakan oleh
Allah.
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh manusia adalah akal yang merupakan anugrah Allah yang sangat
berharga. Manusia di beri
kedudukan yang lebih tinggi sebagai khalifah di bumi.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki manusia ini
diharapkan bisa memberi peran positif bagi kelangsungan hidup pada lingkungan
hidup. maka Allah mengangkat manusia sebagai khalifah untuk menjadi pemimpin di
dunia ini. Manusia sebagaimana
disebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30, diciptakan unluk menjadi
kholifah:
وَإِذۡ
قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang kholifah dimuka bumi. (QS Al-Baqarah: 30)
Banyak
sekali ayat-ayat yang diketemukan dalam Al
Qur’an
dan Hadits yang memberikan perhatian serius terhadap peran manusia untuk memelihara dan
melestarikan alam. Nabi juga telah
bersabda:
ßõáßõãú ÑóÇÚò æóãóÓúÆõæúáñ Úóäú ÑóÚöíøóÊöåö ÝóÇúáÅöãóÇãõ ÑóÇÚò æóåõæó ãóÓúÆõæáñ ÑóÚöíøóÊöåö
Artinya: “Kalian semua adalah pemimpin,
dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang iman
adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”.
Khalifah
di sini mempunyai arti sebagai berikut; Khalifah jamaknya Khala,if. Sedangkan
Khalif jamaknya ialah Khulafa. Khalif diambil dari kata madi
Khalafa, artinya menganti. Khalafa dari akar kata Khalf, artinya
belakang, lawan dari kata salaf. Dalam al-Munjid mempunyai arti
pengganti dan pemimpin. Kata khalifah di sini juga di ambil dari kata al-khilafah
yang berarti pengganti (dari seseorang). Kata khalifah dalam surat
Al Baqarah ayat 30 berarti pengganti. Manusia (bani adam) adalah khalifah/pengganti
generasi sebelumnya, indikatornya dapat dilihat dari pernyataan malaikat tersebut.
Di dalam ayat ini terdapat hubungan segi tiga antar Tuhan, alam, manusia. Tuhan
telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengelola alam, serta Tuhan telah
menaklukkan Alam kepada manusia.
Jabatan
khalifah di artikan sebagai “Wakil Allah” dalam memimpin umat seisi alam
dengan mengacu pada Al Qur’an seperti yang ditegaskan dalam Surat Al Baqarah
ayat 30. Tugas kekhalifahan manusia yang terdapat dalam Al Qur’an dapat di klasifikasikan
menjadi tiga pokok yaitu: 1). Memakmurkan bumi, manusia dijadikan oleh
Allah SWT dengan memikul amanah kekhalifahan itu pada dasarnya di
tugaskan untuk megurus, memelihara, mengembangkan, dan mengambil manfaat bagi kesejahteraan
manusia, untuk membekali manusia, Allah telah menganugerahkan berbagai potensi,
seperti panca indra, perasaan, intelektual, keimanan dan keinginan. 2).
Menegakkan kebenaran dan keadilan, menegakkan kebenaran merupakan
salah satu tugas khalifah yang penting, dengan dasar ketentuan Tuhan, dilandasi
pemikiran yang jernih (tidak emosional). 3). Motivator dan dinamisator
pembangunan, posisi manusia sebagai kholifah disini di tuntut harus mampu
mengaktualisasikan dirinya sebagai motivator dan dinamisator dalam mengerjakan
kebaikan (al-khair), baik secara vertikal seperti melakukan
shalat maupun horisontal seperti dermawan (ita’iz zakah) dan
hidup penuh dedikasi (abidun).[13]
Sebagai kholifah, manusia memiliki tugas dan tanggung
jawab untuk ikut merawat, memelihara dan melestarikan berbagai fasilitas
alam yang telah disediakan oleh Allah untuk manusia. Memang Allah telah
membolehkan manusia untuk menggunakan seluruh sumber daya alam ini sebagai
sumber rizki bagi manusia dan juga seluruh makhluk hidup yang ada
diatasnya.
۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى
ٱللَّهِ رِزۡقُهَا
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya”. (Q.S Hud: 6)
Oleh
karena itu, pemanfaatan itu tidak boleh semena-semena, dan seenaknya saja dalam mengeksploitasinya. Pemanfaatan
berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, di daratan dan di dalam hutan harus dilakukan secara
proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga
ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al-A’raf ayat 56:
وَلَا
تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ
رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٦
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S
Al-A’raf: 56)
Menyadari
hal tersebut maka dalam pelaksanaan pembangunan, sumber daya alam Indonesia
harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus
diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata
lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi
yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa
dimanfaatkan secara berkesinambungan. Kita harus bisa mengambil i’tibar
dari ayat Allah yaitu:
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا قَرۡيَةٗ
كَانَتۡ ءَامِنَةٗ مُّطۡمَئِنَّةٗ يَأۡتِيهَا رِزۡقُهَا رَغَدٗا مِّن كُلِّ مَكَانٖ
فَكَفَرَتۡ بِأَنۡعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلۡجُوعِ وَٱلۡخَوۡفِ
بِمَا كَانُواْ يَصۡنَعُونَ ١١٢
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu
perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya
datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya
mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (Q.S
An-Nahl: 112).[14]
2.
Kerusakan Bumi Karena Ulah Tangan Manusia
Hal yang menyangkut etika dengan
lingkungan alam salah satunya adalah bagaimana manusia membangun sikap
proporsional ketika berhadapan dengan lingkungan. Sehingga lingkungan dapat
terpelihara dan terjaga kelestariannya sepanjang generasi umat manusia. Akan
tetapi realitas tidak seindah harapan. Bencana alam datang silih berganti.
Bencana alam tersebut telah benar – benar mengancam kehidupan manusia.
Eksploitasi hutan dan rimba tanpa mempertimbangkan kesinambungan ekosistemnya
menyebabkan hutan kehilangan daya dukungnya bagi konservasi air dan tanah.
Kalau hal ini didiamkan, berarti kita
merelakan kerusakan itu tanpa bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Sebab
lingkungan adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia itu sendiri, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Tuhan
tahu akan perangai manusia tersebut, karena itu manusia diingatkan. Manusia
lupa bersyukur atas segala nikmat indahnya alam yang diciptakan Tuhan. Manusia
justru kurang bersahabat dengan alam dan lingkungannya. Maka Al-Quran
menyebutkan bahwa kerusakan di alam akibat ulah kejahatan manusia. Manusia
Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang
bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan,
tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri sehingga
berbagai akibat dari perusakan itu ditanggung oleh manusia juga. Hal ini tampak
jelas dalam firman Allah:
ظَهَرَ
ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم
بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١
Artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).”
Ayat diatas menjelaskan bahwa kerusakan
yang kita rasakan saat ini baik di darat maupun di laut merupakan akibat dari
kegiatan, aktivitas atau kebijakan manusia yang tidak mengindahkan pada
keberlangsungan kehidupan. Semantara itu, Nabi juga mengingatkan umat manusia
perihal menjaga lingkungan. Salah satu sabda Beliau:
Artinya: Dari Muadz berkata, saya
mendengar Rosulallah bersabda: takutlah kalian pada tiga perbuatan yang
dilaknat. Pertama, buang air besar di jalan, kedua, di sumber air dan ketiga di
tempat berteduh. (HR. Ibnu Majah).
Bahkan di hadis yang lain ditambahkan,
Rosulullah juga melarang buang air besar di lubang binatang dan di bawah pohon
berbuah. Apresiasi Nabi terhadap kelestarian lingkungan amatlah jelas. Sisi
gelap manusia terhadap alam sebagaimana disinyalir Tuhan diatas, kiranya
menyadarkan manusia akan kekhilafannya itu. Jangankan merusak lingkungan
seperti menebang pohon, mengganggu atau mencemari alam sekitar saja tidak
dibenarkan.[15]
Oleh karena itu,
perlu ditempuh langkah-Iangkah antisipasinya agar kerusakan yang terjadi
didaratan dan lautan itu tidak semakin parah. Diantaranya adalah:
a. Perlu ada program reboisasi yang tidak hanya berupa
proyek tetapi betul-betul diaplikasikan dilapangan. Siapa saja yang melakukan
pelanggaran dan penyalahgunanaan dana dan program reboisasi harus dihukum
dengan berat. Disamping itu perlu juga dikembangkan hutan rakyat, hutan
lindung, hutan cagar alam dan lainnya.
b. Perlu dijaga kelestarian sumber daya laut dengan
membuat cagar laut, konservasi laut dan lainnya. Serta melarang dan menindak
dengan tegas kepada para pengguna alat yang membahayakan seperti bom atau
obat-obatan beracun untuk menangkap ikan dan lainnya yang akan memusnahkan ikan
dan makhluk hidup laut hingga ke anak-anaknya.
c. Dilarangnya komersialisasi aset-aset sumber daya alam
yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti waduk, mata air, sungai, dan
lainnya karena akan menyengsarakan hidup rakyat banyak.
d. Menindak tegas aparat, pebisnis, cukong dan siapapun
saja yang melakukan perusakan dan eksploitasi hutan, laut dan sumber daya alam
lainnya diluar batas rasional dan proporsionalitasnya.[16]
3.
Air dijadikan Allah Sebagai Sumber Kehidupan
Bencana
alam terjadi dimana-mana. Banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran
hutan menjadi berita yang telah akrab di telinga kita. Masih belum hilang dalam
ingatan kita bagaimana sekian juta hektar hutan dilahap si ‘jambul merah’.
Beberapa desa hanyut diterjang banjir bandang. Hal ini terjadi tidak lepas dan
ulah manusia itu sendiri.
Tanpa
beban dosa, dengan seenaknya mereka menebang kayu hutan. Kekayaan alam yang ada
didalamnya juga diambil habis. Emas, perak, batubara dan barang tambang lainnya
disikat hanya untuk mengejar kepentingan perut semata tanpa memperhatikan
keseimbangan alam. Akhirnya bisa ditebak, hutan menjadi gersang, tandus, kering
dan gundul. Pencemaran merambah kemana-mana. Alam sudah mati, sehingga tidak
mampu lagi memberikan kesejukan dan perlindungan buat manusia.
Akhirnya,
alam yang selama ini selalu menjadi sahabat manusia, berubah menjadi musuh yang
paling ditakuti. Alam murka pada manusia yang telah merusaknya. Ketika hujan
turun, banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana, sebab tidak ada lagi
pepohonan yang dapat menahan laju air. Bisa dipastikan, ribuan rumah serta
jutaan hektar sawah terendam air. Pada saat musim kemarau menyapa, terjadi
kekeringan dimana-dimana. Para petani menjerit karena lahan-lahan pertanian
mengalami pusau akibat tidak ada lagi air untuk menyiram lahan pertanian
mereka. Kebakaran hutanpun tidak bisa dihindari. Jerit tangis tak terelakkan.
Sungguh mengenaskan! Mungkin inilah balasan yang harus diterima oleh manusia
akibat ulahnya atas lingkungan yang mengabaikan norma dan etika.
Padahal
hakikatnya, alam semesta beserta isinya, bagaimanapun keadaannya konkrit maupun
abstrak adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Memang
itulah kodratnya, alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat
keberlangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan, minum,
perlindungan, keselamatan dan mata pencaharian kehidupan, Firman Allah SWT:
هُوَ
ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗۖ لَّكُم مِّنۡهُ شَرَابٞ وَمِنۡهُ شَجَرٞ
فِيهِ تُسِيمُونَ ١٠
Artinya:
“Dialah, Yang telah menurunkan air hujan
dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya
(menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan
ternakmu”. (Q.S An-Nahl: 10)
Dalam
surat yang sama al-Qur’an menyatakan:
وَهُوَ
ٱلَّذِي سَخَّرَ ٱلۡبَحۡرَ لِتَأۡكُلُواْ مِنۡهُ لَحۡمٗا طَرِيّٗا وَتَسۡتَخۡرِجُواْ
مِنۡهُ حِلۡيَةٗ تَلۡبَسُونَهَاۖ وَتَرَى ٱلۡفُلۡكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبۡتَغُواْ
مِن فَضۡلِهِۦ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٤
Artinya:
“Dan Dialah, Allah yang menundukkan
lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan),
dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu
melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari
karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. (Q.S An-Nahl: 14)
Karena
itu, sungguh beruntung negara yang memiliki wilayah hamparan luas hijau
terbentang. Berbagai kekayaan alam akan muncul dari sana. Minyak tanah,
barang-barang tambang, serta hasil hutan lainnya dapat memberikan manfaat yang
sangat besarbagi kehidupan manusia. Tak kalah menakjubkan, adanya air jernih –
tanpa ada campuran zat-zat kimia— yang dapat memberikan kebugaran tubuh dan
nafas tanaman. Masih banyak lagi manfaat-manfaat lain yang diberikan oleh alam.
Ini adalah nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.
Sebagai
kompensasinya, manusia diminta untuk merawat dan melestarikannya. Manusia hanya
diminta menjaganya agar apa yang menjadi kekayaan alam tersebut tetap lestari
dan terus dapat dinikmati oleh manusia. Caranya dengan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan dari hal-hal yang
mengancam kepunahan alam serta isinya. Manusia hanya diminta untuk mensyukuri nikmat
yang telah diberikan-Nya, sehingga kekayaan alam yang telah diberikan menjadi
lestari dan dapat dinikmati secara terus menerus oleh umat manusia, bahkan
terus ditambah oleh Allah SWT.
وَإِذۡ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
Artinya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih". (Q.S Ibrahim: 7).[17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat di
simpulkan sebagai berikut.
Pengertian lingkungan
secara harfiah adalah segala sesuatu yang mengitari kehidupan, baik berupa
fisik seperti alam jagat raya dengan segala isinya, maupun berupa non-fisik,
seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai dan adat istiadat yang berlaku
di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang, serta teknologi.
Permasalahan lingkungan
yang berada di sekitar kita adalah gangguan sampah dan air kotor adalah sarang
penyakit sedangkan fenomena lingkungan diperkotaan adalah polusi udara, taman
hijau perkotaan, limbah pabrik, pemanfaatan daerah aliran sungai dan banjir.
Dalam
sudut lingkungan hidup, pokok perhatian dewasa ini berkisar pada beberapa aspek
yang dirasakan sebagai tekanan krisis yang membahayakan kelangsungan hidup
manusia khususnya manusia Indonesia, ada tiga persoalan dasar yang berkaitan
dengan lingkungan hidup yaitu: Perusakan dan perampokan hutan di Indonesia yang
mencapai 600.000 hektar pertahun dan terus meningkat intensitasnya, perusakan
sumber daya laut dan Komersialisasi berbagai sumber daya alam yang menyangkut
hajat hidup orang banyak yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk
kesejahteraan rakyat.
Karenanya
harus dirumuskan langkah-langkah strategis untuk merumuskan berbagai kebijakan
yang mendukung pelestarian hutan, sumber daya mineral dan tambang, sumber daya
laut dan lainnya. Tahap-tahap pelestarian lingkungan dalam buku fiqh lingkungan
(menurut Al-Qur’an) adalah sebagai berikut:
1.
Manusia Mengemban
Tugas untuk Menjaga Bumi (Khalifatul Ardh)
2.
Kerusakan Bumi
karena Tangan Manusia
3.
Air dijadikan
Allah Sebagai Sumber Kehidupan
B.
Saran
Penulis menyadari sepenuhya bahwa dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari kata layak untuk dijadikan bacaan, Karena masih
terdapat kekurangan baik dari isi maupun kesalahan penulisan makalah. Kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sangatlah penulis butuhkan demi perbaikan
dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abta, Asyhari Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh Lingkungan,
Jakarta: Conservation International, 2006.
Al-Qardlawi,
Yusuf, Islam Agama Ramah Lingkungan. Terj. oleh Abdullah Hakam Shah dkk.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.
Mahrus, An‘im Falahuddin, Islam
dalam Fenomena Lingkungan Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, Jakarta: Conservation International, 2006.
Masruri, Ulin Ni’am, “Pelestarian
Lingkungan dalam Persfektif Sunnah”, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor
2, Nopember 2014.
Muhyiddin, Asep, “Dakwah Lingkungan
Persfektif Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol.4, No.15 Januari-Juni 2010.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Pdf,
Pemeliharaan
dan Pelestarian lingkungan Hidup dalam Islam.
Salam, Misbahus Beberapa konsep Pengelolaan dalam Fiqh Islam, dalam buku Fiqh
Lingkungan Jakarta: Conservation International, 2006.
Tim
Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional & Balai Pustaka, 2001.
Zakiah, Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Zulhammi, “Lingkungan Pendidikan Menurut
Al-Qur’an”, Forum Paedagogik Vol. VI, No.01 Jan 2014.
[1]Asep Muhyiddin, “Dakwah Lingkungan
Persfektif Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol.4, No.15 Januari-Juni 2010. h.
810-811.
[2]Tim Redaksi KBBI, Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. (Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional & Balai Pustaka, 2001), h. 675.
[3]Yusuf Al-Qardlawi,
Islam Agama Ramah Lingkungan. Terj. oleh Abdullah Hakam Shah dkk.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 5.
[6]Ulin Ni’am Masruri, “Pelestarian
Lingkungan dalam Persfektif Sunnah”, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor
2, Nopember 2014, h. 415-416.
[7]Zulhammi, “Lingkungan Pendidikan
Menurut Al-Qur’an”, Forum Paedagogik Vol. VI, No.01 Jan 2014, h. 185.
[8]An‘im
Falahuddin Mahrus, Islam dalam Fenomena
Lingkungan Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h.
42.
[9]An‘im Falahuddin
Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan
Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 43.
[10]An‘im Falahuddin
Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan
Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 44.
[11]An‘im Falahuddin
Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan
Hidup, dalam Buku Fikih Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 45.
[12]Asyhari Abta, Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh
Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 76-77.
[14]Asyhari Abta, Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh
Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 77-78.
[15]Ulin Ni’am Masruri, “Pelestarian
Lingkungan dalam Persfektif Sunnah”, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor
2, Nopember 2014, h. 417-419.
[16]Asyhari Abta, Konsep Islam dalam Pelestarian Lingkungan, dalam Buku Fiqh
Lingkungan, (Jakarta: Conservation International, 2006), h. 78.
[17]Misbahus Salam, Beberapa konsep Pengelolaan dalam Fiqh Islam,
dalam buku Fiqh Lingkungan (Jakarta: Conservation International, 2006), h.
79-80.
Semoga Bermanfaat, Senang membantu orang yang membutuhkan terima kasih :)
Komentar
Posting Komentar