Problema Pendidikan dan pendidikan Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia yang berkualitas merupakan ujung tombak kemajuan suatu bangsa. Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan bahkan Malaysia menempatkan pendidikan sebagai faktor strategis dalam memajukan bangsanya. Pendidikan yang berkualitas dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan merupakan barometer tingkat kemajuan bangsa tersebut.
Pendidikan sudah kita terima sejak lahir. Pendidikan bisa bersifat formal ataupun informal. Informal maknanya pendidikan bisa kita dapatkan melalui lingkungan, pergaulan, dan keseharian di rumah. Sedangkan, formal dalam artian pendidikan diperoleh melalui jalur resmi pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi.
Di Indonesia, upaya pembangunan pendidikan formal juga dilakukan di berbagai jenjang, mulai dari pendidikan dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi. Semua jenjang ini diharapakan memenuhi fungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional, seperti yang terdapat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yaitu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang dirilis pada tanggal 5 Oktober 2009 Indonesia berada pada kategori Pembangunan Manusia Menengah dengan Indeks IPM 0,734, dan berada di urutan ke-111 dari 180 negara. Posisi ini kalah jauh dari negara tetangga kita, Malaysia, yang berada pada kategori Pembangunan Manusia Tinggi dengan indeks IPM 0,829, dan berada pada urutan ke-66. IPM merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau
negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Terlihat jelas bagaiman kondisi pendidikan bangsa kita dewasa ini. Pada kenyataanya pendidikan belum sepenuhnya memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui nilai dan manfaat pendidikan itu sendiri. Rendahnya kualitas lulusan
merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan di Indonesia belum secara optimal dikembangkan. Relevansi pendidikan dalam hal substansi dengan kebutuhan masyarakat dinilai masih rendah. Parahnya lagi, pendidikan menjadi kawasan politisasi dari para pejabat. Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita.
Menyoal problematika yang dihadapi bangsa dalam hal pendidikan, penulis tertarik untuk membuat uraian permasalahan ini dan mengemukakan solusi-solusi yang kiranya dapat direnungkan melalui sebuah tulisan yang berjudul “Mencermati Berbagai Problem Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia serta Upaya Pemecahan melalui Kebijakan”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Apa yang dimaksud problematika pendidikan?
2.      Apa saja masalah pokok pendidikan di Indonesia?
3.      Bagaimana pemecahan masalah yang tepat untuk mengatasinya?
4.      Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan?
5.      Apa pengertian Pendidikan Islam?
6.      Apa saja masalah pokok pendidikan Islam di Indonesia?
7.      Bagaimana pemecahan masalah yang tepat untuk mengatasinya?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui arti problematika pendidikan.
2.      Untuk mengetahui berbagai masalah pokok pendidikan di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui pemecahan dari masalah-masalah pendidikan.
4.      Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi berkemembangnya masalah pendidikan.
5.      Untuk mengetahui pengertian pendidikan Islam.
6.      Untuk mengetahui berbagai masalah pendidikan Islam di Indonesia.
7.      Untuk mengetahui pemecahan dari masalah-maslah pendidikan Islam.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Problematika Pendidikan
Problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan yang menimbulkan permasalahan.[1]
Masalah didefinisikan sebagai suatu pernyataan tentang keadaan yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Bisa jadi kata yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua factor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan.[2]
Masalah biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus diselesaikan. Umumnya masalah disadari ada saat seorang individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan. Dalam beberapa literature riset, masalah seringkali didefinisikan sebagai sesuatu yang membutuhkan alternative jawaban, artinya jawaban masalah atau pemecahan masalah bisa lebih dari satu. Selanjutnya dengan kriteria tertentu akan dipilih salah satu jawaban yang paling kecil resikonya. Biasanya, alternative jawaban tersebut bisa diidentifikasi jika seseorang telah memiliki sejumlah data informasi yang berkaitan dengan masalah bersangkutan.[3]
Pendidikan ialah berasal dari Bahasa Yunani “paedagogik” yang berasal dari kata “pais” berarti anak dan “again” berarti bimbingan. Jadi “paedagogik” artinya bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam Bahasa Inggris pendidikan diterjemahkan menjadi “Education”. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani “educare” berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar dapat tumbuh dan berkembang. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik dan kecerdasan pikiran yang berarti pendidikan merupakan sebuah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok.
Sedangkan definisi Pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 Bab I, pasal 1 menggariskan pengertian: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[4]
Adapun yang dimaksud dengan peroblematika pendidikan adalah persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, khususnya Negara Indonesia.
Maka dapat disimpulkan bahwa problematika pendidikan adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan maupun pembelajaran, baik yang datang dari individu guru, diri peserta didik, maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat secara langsung dalam hidup bermasyarakat.

B.     Masalah Pokok Pendidikan di Indonesia
Pembangunan pendidikan yang sudah dilaksanakan sejak Indonesia merdeka telah memberikan hasil yang cukup mengagumkan sehingga secara umum kualitas sumber daya manusia manusia Indonesia jauh lebih baik. Namun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita masih ketinggalan jauh. Oleh Karena itu, upaya yang lebih aktif perlu ditingkatkan agar bangsa kita tidak menjadi tamu terasing di Negeri sendiri terutama Karena terjajah oleh budaya asing dan terpaksa menari diatas irama gendang irang lain. Upaya untuk membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relative ringan. Hal ini disebabkan dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadpi sejumlah masalah yang sifatnya berantai sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera diatasi Karena sangat berpengaruhh terhadap pendidikan selanjutnya, ada beberapa masalah internal pendidikan yang dihadapi, antara lain sebagai berikut.
1.      Rendahnya pemerataan kesempatan belajar disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini identic ciri-ciri kemiskinan.
2.      Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek.
3.      Rendahnya efisiensi internal Karena lamanya masa studi melampaui waktu standar yang sudah ditentukan.
4.      Rendahnya efisiensi eksternal system pendidikan yang disebut dengan relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang cenderung terus meningkat. Secara empiris kecedrungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih didominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan teknologi). Dengan demikian pertambahan kubutuhan akan tenaga kerja jauh lebih kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
Masalah-masalah di atas erat kaitannya dengan kendala seperti keadaan geografis, demografis, serta sosio-ekonomi besarnya jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah geogragis Indonesia cukup luas. Kemiskinan juga merupakan salah satu kendala yang memiliki hubungan erat dengan masalah pendidikan. Rendahnya mutu kinerja system sistem pendidikan tidak hanya disebabkan oleh adanya kelemahan manejemen pendidikan tingkat mikro lembaga pendidikan, tetapi Karena juga manajemen pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan system pendidikan. Sistem dan tata kehidupan masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan rendahnya mutu system pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya mutu peserta didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan program yang ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik Karena fenomena dan penyebab timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia.[5]
Sistem pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai supra sistem. Pembangunna sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak singkron dengan pembanguanan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sistem sosial budaya sebagai supra sistem tersebut, dimana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya suatu permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat disekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya diluar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut banyak komponen dan melibatkan banyak pihak. Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita dewasa ini, yaitui:
-       Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
-       Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Yang pertama mengenai masalah pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu, relevansi, dan juga efisiensi pendidikan.
Seperti telah dikemukakan diatas, pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesempatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya. Masalah yang dimaksud adalah:
1.      Masalah Pemerataan Pendidikan
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaiman sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan.
Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita Undang-Undang No 4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada bab XI pasal 17 berbunyi: Tiap-tiap warga Negara republik Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaarn pada sekolah itu dipenuhi.[6]
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI pasal 10 ayat 1 menyatakan: ”semua anak yang berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun “ ayat 2 menyatakan: “belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Landasan yuridis pemerataan pendidikan tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai akibat penjajahan.
Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi dalam pembangunan, maka setelah upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan. Hal ini akan dibicarakan pada butir tentang masalah mutu pendidikan.
Khusus pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan saksama.
Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada seluruh warga Negara perlu di berikan bekal dasar yang sama. Pada jenjang pendidikan menengah dan terutama pada jenjang pendidikan yang tinggi, kebijakan pemertaan didasarkan atas pertimbangan kualitatif dan relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak, keperluan, tenaga kerja, dan keperluan pengembangan masyarakat, kebudayaan, ilmu, dan tekonologi. Agar tercapai   keseimbangan antara faktor minat dengan kesempatan memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan yang seluas-luasnya mengenai bidang-bidang pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya yang dibutuhkan dalam pembangunan utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan langka.
Perkembangan upaya pemerataan pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke pelita.  Didalam Undang-Undang No.2 tahun 1989 tengtang sistem pendidikan nasional III tentang hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan, pasal 5 menyatakan: ”setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Bahkan dalam pasal 7 mengenai hak telah di tegaskan sebagai berikut: “penerimaan seorang peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Perkembangan iptek menawarkan beraneka ragam alternatif model pendidikan yang dapat memperluas pelayanan kesempatan belajar. Dilihat dari segi waktu belajarnya bervariasi dari beberapa jam, hari, minggu, bulan, sampai tahunan, melalui proses tatap muka sampai pada lingkungan alam yang dapat mendung.[7]
Jadi intinya dari masalah pemerataan pendidikan ini adalah persoalah bagaimana system pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia.
2.      Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenagan terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tesebut terjun kelapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja. Lazimnya masih dilakukan pelatihan dan pemagangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja dilapangan, dan berkarya.
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluaranya. Jika tujuan pendidikan nasioanl dijadikan kriteria, maka pertanyaanya adalah: apakah keluaran dari sistem pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri, anggota masyarakat yang sosial yang bertanggung jawab. Dengan kata lain keluaran ini mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas luaran seperti tersebut adalah nurturant effect. Meskipun disadari bahwa hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil dari sistem pendidikan itu sendiri. Yang menjadi persoalan ialah bahwa cara pengukuran mutu produk tersebut tidak mudah. Dan pada umumnya hanya dengan mengasosiasikan dengan hasil belajar yang sering dikenal dengan EBTA atau hasil sipenmaru.
Padahal hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang bermutu. Jika tidak terjadi belajar secara optimal akan menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Berarti pokok permasalahan mutu pendidikan lebih terletah pada masalah pemprosesan pendidikan. Selanjutnya kelancara pemprosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang terdiri dari peserta didik, tenaga kependidikan, kurikulum, sarana pembelajaran, dan juga masyarakat sekitar.
Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu, didalam Tap MPR RI tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembanguan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan khususnya untuk memacu untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan matematika. Umumnya pendidikan di seluruh tanah air pada umumnya menunjukkan daerah pedesaan lebih rendah dari daerah perkotaan.[8]
Jadi inti dari Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan. Pertama dilakukan oleh lembaga peghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (perfomance test). Lazimnya sesudah itu masih dilakukan pelatihan/ pemagangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja di lapangan.
3.      Masalah Efisiensi Pendidikan
Pada hakikatnya masalah efisiensi adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam pemanfaatan dana dan sumber daya manusia.
Efesiensi artinya dengan menggunakan tenaga dan biaya sekecil-kecilnya dapat diperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Jadi, sistem pendidikan yang efesien ialah dengan tenaga dan dana yang terbatas dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, keterpaduan pengelolaan pendidikan harus tampak diantara semua unsur dan unit, baik antar sekolah negeri maupun swasta, pendidikan sekolah maupun luar sekolah, antara lembaga dan unit jajaran depertemen pendidikan dan kebudayaan.
Para ahli banyak mengatakan bahwa sistem pendidiakn sekarang ini masih kurang efisien. Hal ini tampak dari banyaknya anak yang drop-out, banyak anak yang belum dapat pelayanan pendidikan, banyak anak yang tinggal kelas, dan kurang dapat pelayanan yang semestinya bagi anak-anak yang lemah maupun yang luar biasa cerdas dan genius.
Oleh karena itu, harus berusaha untuk menemukan cara agar pelaksanaan pendidikan menjadi efisien.[9]
Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikn mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi.
Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting adalah:
a.       Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan
b.      Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan
c.       Bagaimana pendidikan diselenggarakan
d.      Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembanagan tenaga kependidikan. Masalah pengangkatan terletak pada kesenjanagn antara stok tenaga yang tesedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terakgir ini jatah pengangkatan setiap tahunnya hanya sekitar 20 % dari kebutuhan tenaga lapangan.
Sedangkan persediaan tenaga siap di angkat lebih bear daripada kbutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80% tenaga yang tersedia tidak segera difungsikan. Ini terjadi kemubadziran yang terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian. Dan tenaga kependidikan khususnya guru tidak disiapkan untk berwirausaha.
Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami kepincanagn, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah menerima guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedang guru bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah pengangkatan sehingga di tempatkan didaerah sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap mengajarkan bidang studi diluar kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga kerja yang tesedia didaerah terpencil.
Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan pengembanagn tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru sangat memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat di rencanakan berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan.dan pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.[10]
4.      Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevensi adalah masalah yang timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan dengan pembangunan nasional setara kebutuhan perorangan, keluarga, dan masyarakat, baik dalam jangka pendek, maupun dalam jangka panjang.
Pendidikan merupakan faktor penunjang bagi pembangunan ketahanan nasional. Oleh sebab itu, perlu keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dengan pembangunan nasional tersebut. Sebagai contoh pendidikan di sekolah harus di rencanakan berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional, serta memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang di perlukan sesuai dengan keadaan lingkungan di wilayah-wilayah lingkungan tertentu.[11]
Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi seperti yang dinyatakan tersebut cukup ideal jika dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang pekerjaan yang ada antara lain sebagai berikut:
a.       Status lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
b.      Sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap kembang.
c.       Peta kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak tersedia.

Dari keempat macam masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika pendidikan:
1)      Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga Negara yang butuh pendidikan dapat ditampung daalm suatu satuan pendidikan.
2)      Dapat mencapai hasil yang bermutu artinya: perencanaan, pemprosesan pendidikan dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
3)      Dapat terlaksana secara efisien artinya: pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan dan tujuan yang ditulis dalam rancangan.
4)      Produknya yang bermutu tersebut relevan, artinya: hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.[12] 
Pada dasarnya pembangunan dibidang pendidikan tentu menginginkan tercapainya pemerataan pendidikan dan pendidikan yang bermutu sekaligus. Ada dua faktor yang dapat dikemukakan sebagai penyebab mengapa pendidikan yang bermutu belum dapat diusahakan pada saat demikian, yaitu:
Pertama: gerakan perluasan pendidikan untuk melayani pemerataan kesempatan pendidikan bagi rakyat banyak memerlukan penghimpunan dan pengerahan dana dan daya.
Kedua: kondisi satuan-satuan pendidikan pada saat demikian mempersulit upaya peningkatan mutu karena jumlah murid dalam kelas terlalu banyak, pengerahan tenaga pendidik yang kurang kompeten, kurikulum yang belum mantap, sarana yang tidak memadai.
Meskipun demikian pemerataan pendidikan tidak dapat diabaikan karena upaya tersebut, terutama pada saat suatu bangsa sedang memulai membangun mempunyai tujuan ganda, yaitu disamping tujuan politis juga tujuan pembanguan yaitu memberikan bekal dasar kepada warga Negara agar dapat menerima informasi dan memiliki pengetahuan dasar untuk mengembangkan diri sehingga dapat perpatisipasi dalam pembangunan.
Dalam uraian tersebut tampak bahwa masalah pemerataan berkaitan erat dengan masalah mutu pendidikan. Bertolak dari gambaran tersebut terlihat juga kaitannya dengan masalah efisiensi. Karena kondisi pelaksanaan pendidikan tidak sempurna, maka dengan sendirinya pelaksanaan pendidikan dan khususnya proses pembelajaran berlangsung tidak efisien. Hasil pendidikan belum dapat diharapkan relevan dengan kebutuhan masyarakat pembangunan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.[13]

C.    Solusi Pemecahan Masalah Pendidikan di Indonesia
1.      Solusi Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui cara konvesional dan cara inovatif.
Cara konvesional antara lain:
a.       Membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.
b.      Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.
Cara Inovatif antara lain:
Sistem pamong (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau inpact sistem, sistem tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
a.       SD kecil pada daerah terpencil
b.      Sistem guru kunjung
c.       SMP terbuka
d.      Kejar paket A dan b
e.       Belajar jarak jauh, seperti di universitas terbuka.[14]

2.      Solusi Masalah Mutu, Efisiensi dan Relevansi Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan masalah mutu pendiidkan bersasaran pada perbaikkan kualitas komponen pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik, dan menghasilkan hasil pendidikan.
Upaya pemecahan masalah masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat sebagai fisik dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai berikut:
a.       Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT.
b.      Pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut.
c.       Penyempurnaaan kurikulum
d.      Pengembanagan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
e.       Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran
f.        Peningkatan adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
g.      Kegiatan pengendalian mutu.[15]

D.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan
Permasalahan pokok pendidikan sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah pembangunan mikro, yaitu masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan sendiri. Masalah mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan, yaitu masalah di luar sistem pendidikan, sehingga harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah mikro pendidikan. Masalah makro ini meliputi masalah perkembangan internasional, masalah demografi, masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta masalah perkembangan regional. Masalah-masalah makro yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan, yaitu antara lain:
1.      Perkembangan Iptek Dan Seni
a.       Perkembangan Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam semesta, dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Sebagai contoh hubungan antara pendidikan dan iptek, misalnya sering suatu teknologi baru yang digunakan suatu proses produksi menimbulkan kondisi ekonomi sosial baru lantaran perubahan persyaratan kerja, dan mungkin juga penguraian jumlah tenaga kerja atau jam kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem pelayanan baru, sampai pada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal bisa mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tunjangan pendidikan, otomatis juga sarana sarana penunjangnya seperti sarana laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu juga membaw masalah dalam skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Contoh di atas memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan. Di samping pengaruh tidak langsung juga banyak pengaruh yang langsung dalam sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan guru dan gedung sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka, pengadaan guru relatif cepat seperti dengan program diploma, perlindungan terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Hampir setiap inovasi mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti membawa hasil. Kedua, pada dasarnya orang merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru. Masalahnya ialah bagaimana cara memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengandung dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan prinsip-prinsip) dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya).
b.      Perkembangan Seni
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menghasilkan sesuatu yamg indah. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan. Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan afektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan disamping domain kognitif yang sudah digarap melalui program /bidang studi yang lain. Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah mengalami perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.[16]
2.      Laju Pertumbuhan Penduduk
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu:
a.       Pertambahan Penduduk.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang terselenggaranya pendidikan harus di tambah. Dan ini berarti beban pembangunan nasional menjadi bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja, dan penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi pergesaran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cenderung lebih meningkat dibanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan, permintaan untuk lanjutan keperguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk usia tua yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan non-formal.
b.      Penyebaran Penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat penduduk, terutama di kota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu daerah pedalaman khususnya di daerah terpencil yangberlokasi di pegunungan dan di pulau-pulau. Sebaran penduduk seperti digambarkan itu menimbulkan kesulitan dalam penyediaan sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunya SD kecil untuk melayani kebutuhan akan pendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di samping SD yang reguler. Belum lagi kesulitan dalam hal penyediaan dan penempatan guru.[17]
3.      Aspirasi Masyarakat
Dalam dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan dianggap memberi jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian ditangga sosial.  Gejala yang timbul ialah membanjirnya pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota, di samping pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan nonformal. Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah murid dan siswa perkelas melebihi yang semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak, diadakannya kesempatan belajar bergilir pagi dan sore dengan pengurangan jam belajar, kurang sarana belajar, kekurangan guru, dan seterusnya. Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik.[18]
4.      Keterbelakangan Budaya dan Sarana Kehidupan
Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik. Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, apalagi mandeg, tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya yang berubah jika tidak seluruhnya secara utuh. Perubahan kebudayaan terjadi karena ada penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material seoerti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi, dan yang bersifat non matreial seperti paham atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi karena:
a.       Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil)
b.      Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budata baru karena tidak dipahami atau karena dikhawatirkan akan merusak sendik masyarakat.
c.       Ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
a.       Masyarakat daerah terpencil.
b.      Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
c.       Masyarakat yang kurang terdidik.
Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut berperan serta dalam pembangunanmsebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan mereka. Jika sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat terbelakang kebudayaanya berarti melibatkan mereka untuk berperan serta dalam pembangunan.[19]

E.     Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien. Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh iala sebagai berikut:
Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam.
Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hokum-hukum Islam.
Tujuan pendidikan Islam menurut Al-Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk social dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.[20]
Dalam mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu: (1). Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam. (2) Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya. (3) Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.[21]

F.     Masalah Pendidikan Islam di Indonesia
Sebagai negara yang berpenpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarkat yang tercipta merupakan cerminan masyrakat islami. Dengan demikian Islam benar-benar mejadi rahmat bagi seluruh alam.
Pendidikan Islam yang hakikatnya bersumber pada nilai-nilai ajaran Islam yang sesungguhnya akan dijadikan sebuah pedoman untuk menjalani kehidupan di dunia serta akhirat kelak. Namun, dengan era globalisasi yang ada membuat pendidikan Islam sendiri mengalami masalah yang dapat dikatakan kompleks mulai dari masalah konseptual-teoritis, hingga permasalahan operasional-praktis.
Masalah-masalah yang tidak terselesaikan dalam pendidikan Islam inilah yang menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya. Dari segi kuantitatif serta kualitatif pendidikan Islam sebagai pendidikan yang dinomor duakan akan menjadi dampak buruk tersendiri bagi pemeluk agama Islam, yaitu salah satu dampak buruk tersebut ialah semakin maraknya pergaulan bebas dikalangan remaja-remaja Islam.
Ketertinggalan pendidikan Islam dari lembaga pendidikan lainnya setidaknya disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:
1.      Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecendrungan masyarakat sekarang dan yang akan datang.
2.      Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih cenderungmengorientasikan diri pada bidang-bidang homaniora dan ilmu-ilmu social ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi dan matematika modern.
3.      Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa silam ketimbang berorientasi pada masa depan, atau kurang bersifat future oriented.
4.      Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya.[22]
Adapun masalah pendidikan Islam yang ditemukan di Indonesia antara lain sebagai berikut.
a.       Sikap Dikotomi dalam Pendidikan Islam
Ketertinggalan pendidikan Islam salah satunya dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani.
Oleh karena itu, akan tampak adanya perbedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomi. Adanya dikotomi inilah yang salah satu penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan wahyu, serta pikir dan zikir.[23] Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatic, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).
Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmuan umum dan ilmu agama yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran Karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam. Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan dampak negative yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar system pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.
b.      Lemahnya dalam Manajemen Pendidikan
Masalah manajemen pendidikan menyangkut efisiensi dalam pemanfaatan sumber yang ada. Masih lembahnya manajemen pendidikan kita menunjukkan system pendidikan nasional masih belum efisien. Hal itu bisa ditunjukkan bahwa pengembangan system pendidikan nasional kita bukan hanya memerlukan konsep-konsep manajemen pendidikan yang mantap, tetapi juga memerlukan pengetahuan dan pengalaman manajemen pendidikan secara sistematis yang dikembangkan dan diterapkan dalam situasi dan kondisi social ekonomi negara kita yang beraneka ragam tersebut. Sejalan dengan itu kebutuhan manajer pendidikan yang profesional sudah merupakan keharusan.
Dalam kajian ekonomi, pendidikan dapat dipandang sebagai suatu industry, sebagai suatu industry pengembanagan manusia pendidikan harus dikelola secara professional. Ketiadaan manager professional ini yang melingkupi kesemua jenjang dan jenis pendidikan menuntut adanya kerja keras dari berbagai macam pihak, untuk bias tampil unggul dalam dunia globalisasi, pendidikan bukan merupakan factor yang paling menentukan, meskipun penting mesti harus diperhitungkan dan ditingkatkan kekuatan factor-faktor lain di samping pengelolaan sumber daya manusia dan alam dan sumber-sumber lain yang terbatas perlu dialokasikan secara tepat, sangat menentukan keberhasilan suatu program pendidikan yang diinginkan.
Sebagai contoh masalah pengelolaan sekolah dasar (SD) merupakan masalah klasik dari kesemrawutan model manjemen pendidikan di Negera kita, yang pada gilirannya memberikan efek pada setiap usaha untuk meningkatkan keluaran system pendidikan. Munculnya Undang-Undang Tahun 1989 mengenai pelaksanaannya, ternyata belum banyak menolong dalam membenahi manjemen sekolah dasar, begitu pula otonomi pengelolaan pendidikan tinggi, khususnya yang menyangkut masalah-masalah akademik dan financial masih perlu penyesuaian dengan kelembagaan yang ada pada system pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan kita dibentuk berdasarkan fungsi peranan pendidikan yang sudah ketinggalan zaman. Sebagaimana dengan kebanyakan lembaga-lembaga social: uang, lembaga-lembaga itu tidak dapat lagi mengikuti cepatnya laju pembangunan. Tidak mengherankan Tilaar mengatakan bahwa pengelolaan (manajemen) pendidikan di Indonesia, termasuk lembaga dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) perlu ditata kembali atau perlu direstrukrisasi.[24]
c.       Belum Terwujudnya Masyarakat Belajar
Salah satu ciri perwujudan masyarakat belajar adalah terwujudnya masyarakat gemar membaca atau dengan kata lain membaca menjadi aktivitas utama setiap anggota masyarakat dalam masyarakat belajar. Sudah sangat lama bangsa Indonesia mengingunkan terwujudnya budaya membaca di kalangan masyarakat. Namun ternyata sampai dengan usia kemerdekaan 60 an tahun ini, budaya membaca itu belum nampak terwujud. Kebiasaan membaca hanya menjadi perilaku sebagian kecil dari komunitas kaum terpelajar dan mereka sejak lama memang telah mempunyai tradisi gemar membaca dari keluarganya. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia membaca lebih dirasakan sebagai beban daripada sebagai sebuah kegiatan yang banyak bermanfaat.
Dengan situasi demikian, maka perwujudan masyarakat belajar yang ditandai dengan tampilnya budaya membaca, nampaknya masih perlu diupayakan dengan berbagai cara. Bagi jajaran Departemen Pendidikan Nasional, lahirnya sebuah prototype masyarakat yang memiliki budaya membaca yang baik, merupakan salah satu komitmen yang ingin selalu diperjuangkan. Sungguh mudah untuk membuat sebuah pemahaman bahwa membaca merupakan sebuah aktivitas utama dalam pembelajaran dan pendidikan. Tanpa hadirnya aktivitas membaca sebagai sebuah perilaku budaya yang terlembagakan, maka proses pendidikan dan pembelajaran akan banyak mengalami kendala. Secara sosio-psikologis, orang melakukan aktivitas membaca pasti dengan dengan alasan, tujuan dan makna yang berbeda-beda, di mana hal itu tergantung pada banyak hal. salah satu factor penentu varibialitas alasan, tujuan dan makna membaca adalah karakteristik pribadi dan karakteristik sosiologis personal.[25]
b.      Profesionalitas Guru yang kurang Memadai
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Karena sesungguhnya pendidik itu pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab sebagai pendidik yaitu manusia dewasa yang mempuyai hak dan kewajiban dalam mendidik peserta didik. Oleh karena itu, seorang pendidik memikul tanggung jawab yang bersifat personal dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial dalam arti bahwa setiap orang yang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain.
Saat ini banyak sekali orang ingin menjadi seorang guru, julah guru di Indonesia pun sudah memadai tetapi permasalahannya ialah banyak guru yang tidak memnuhi persyaratan untuk menjadi seorang guru professional, dan guru di Indonesia kurang memerankan fungsinya sebagai guru professional.
Banyak guru di sekolah-sekolah yang bukan berasal universitas yang bukan diperuntukkan untuk menjadi seorang guru, bahkan ada guru yang bukan lulusan sarjana, maka dari factor tersebut banyak guru yang tidak dapat mengajar dengan baik, Karena guru tersebut tidak mengetahui bagaimana cara mengajar, serta membimbing peserta didik dengan baik.
Faktor lainnya yaitu kesejahteraan guru juga kurang diperhatikan, banyak guru yang masih mendapatkan pendapatan yang sanagt minim, oleh Karena itu banyak guru yang mengambil pekerjaan di dua tempat, dan menyebabkan guru tesrsebut kurang focus dalam mengajar seperti sekedar hanya memberikan materi peserta didik tanpa memeberikan bimbingan kepada peserta didiknya.
Faktor lainnya yang berkaitan dengan kualitas guru di Indonesia yaitu banyaknya guru yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, banyak guru yang tidak dapat menggunkan alat-alat canggih seperti komputer serta alat bantu lainnya dalam pembelajaran dan guru juga tidak menguasai materi yang digunakan untuk mengajarkannya kepada peseta didik.[26]

G.    Solusi Pemecahan Masalah Pendidikan Islam di Indonesia
a.       Solusi Problem Konseptual-Teoritis (Sikap Dikotomi)
Mencermati kenyataan tentang konsep dikotomi pendidikan, maka mau tidak mau persoalan konsep dualisme-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memeberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis dan moral bagi pendidikan.
Pemisahan anatr ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduanya dalam satu system pendidikan integralistik. Namun persoalan integrase ilmu dan agama dalam satu system pendidikan ini bukanlah satu persoalan yang mudah, melainkan harus atas pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya sekedar tambal sulam.
Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara empiris prinsip-prinsip yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio kultural) Filsafat integralisme adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternative dari pandangan holistic yang berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan filsafat integralistik ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi ini, tentang ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu secular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.
b.      Lemahnya dalam manajemen dalam Pendidikan Islam
Solusi dari lemahnya dalam manajemen dalm pendidikan Islam yaitu diperlukannya manajemen yang sesuai dengan dan tentunya manajer-manjer pendidikan yang professional dengan menggunakan strategi-strategi untuk mengelola dan menjalankan tugas yang di emban tersebut untuk menghadapi masyarakat teknologi dan informasi, serta profesi guru sebagai manajer pendidikan untuk mempersiapkan masyarakat masa depan dan harus adanya kerjasama.
Beberapa kasus mengenai manajemen pendidikan, contoh kasus dari pelaksanaan manajemen pendidikan yang terjadi di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen pendidikan. Beberapa pertimbangan tentang munculnya berbagai kasus dalam manajemen pendidikan adalah didasari oleh berbagai fenomena yang dihadapi oleh bangsa. Misalnya era industrialisasi dimana pada masa ini tumbuh berkembang industry-industri. Perkembangan ini menuntut ketersediaannya tenag terampil yang memiliki keahlian yang dibutuhkan industry. Era globalisasi dimana menuntut ketersediaannya Sumber Daya Manusia yang handal, yang mampu berkompetesi dan kommparasi. Dan semuanya itu dalam rangka mencapai cita-cita nasional yaitu masyarakat adil dan makmur. Sama halnya dengan Pendidikan menuntut manejer-manejer yang handal dan profesional
c.       Belum Terwujudnya Masyarakat Belajar
Solusi dari belum terwujudnya masyarakat belajar adalah, dengan cara pendidikan nonformal dalam usahanya memberi pelayanan kepada masyarakat melaksanakan program peningkatan SDM dan memasyarakatkan budaya baca adalah dengan Pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang mana secara umum mempunyai tujuan untuk membangkitkan minat dan budaya baca masyarakat untuk membaca dan belajar sehingga tercipta masyarakat belajar. Sedangkan untuk mebudayakan anak kita gemar dalam membaca itu merupakan tugas orang tua, memberikan solusi dengan menciptakan kebiasaan gemar membaca buku caranya dari orang tuanya memberikan contoh bahwa membaca buku itu sangat penting dalam memperluas wawasan dan di dalam rumah memberikan/menyediakan buku-buku yang disesuaikan dengan kebutuhan anak.
d.      Profesionalitas Guru yang Kurang Memadai
Solusi dari professional guru yang kurang memadai yaitu, dari factor yang disebutkan di atas sekolah juga harus dapat lebih menyeleksi calon guru tersebut, pemerintah juga harus lebih bisa untuk memperhatikan pendapatan guru seperti guru-guru yang masih berstatus sebagai guru honorer agar guru merasa termotivasi dan guru tersebut akan mengajar siswanya dengan baik, dan pemerintah dapat memberikan pelatihan terhadap guru agar dapat menjadikan guru tersebut menjadi guru profesional yang dapat mengajar serta menjadi pembimbing para peserta didik yang akan menjadi penerus bangsa.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Problematika pendidikan adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan maupun pembelajaran, baik yang datang dari individu guru, diri peserta didik, maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat secara langsung dalam hidup bermasyarakat.
Bentuk problematika yang terjadi dalam pendidikan secara global ialah adalah Masalah Pemerataan Pendidikan, Masalah Mutu Pendidikan, Masalah Efisiensi Pendidikan, serta Masalah Relevansi Pendidikan. Faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan di Indonesia adalah perkembangan iptek dan seni, laju pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat dan keterbelakanagn budaya dan sarana kehidupan.
Upaya pemacahan yang diberikan terhadap masalah pemerataan pendidikan adalah membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar serta menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore). Sedangkan solusi pemecahan masalah mutu, efisiensi dan relevan adalah dengan menyeleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT, mengembangkan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut. dan menyempurnakan kurikulum.
Sedangkan Bentuk masalah yang terdapat dalam pendidikan Islam adalah Sikap dikotomi dalam pendidikan Islam, lemahnya dalam manajemen pendidikan, belum terwujudnya masyarakat belajar dan profesionalitas guru yang kurang memadai.
Upaya pemecahan yang diberikan adalah sebagai berikut: Solusi dari lemahnya dalam manajemen dalm pendidikan Islam yaitu diperlukannya manajemen yang sesuai dengan dan tentunya manajer-manjer pendidikan yang professional dengan menggunakan strategi-strategi untuk mengelola dan menjalankan tugas yang di emban tersebut untuk menghadapi masyarakat teknologi dan informasi, serta profesi guru sebagai manajer pendidikan untuk mempersiapkan masyarakat masa depan dan harus adanya kerjasama.
Solusi belum terwujudnya masyarakat belajar dengan cara pendidikan nonformal, usahanya memberi pelayanan kepada masyarakat melaksanakan program peningkatan SDM dan memasyarakatkan budaya baca adalah dengan Pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan tugas orang tua di rumah, memberikan solusi dengan menciptakan kebiasaan gemar membaca buku caranya dari orang tuanya memberikan contoh bahwa membaca buku itu sangat penting dalam memperluas wawasan dan di dalam rumah menyediakan buku-buku yang disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Profesionalitas guru yang kurang memadai, Solusinya yaitu, dari factor yang disebutkan di atas sekolah juga harus dapat lebih menyeleksi calon guru tersebut, pemerintah juga harus lebih bisa untuk memperhatikan pendapatan guru seperti guru-guru yang masih berstatus sebagai guru honorer agar guru merasa termotivasi dan guru tersebut akan mengajar siswanya dengan baik, dan pemerintah dapat memberikan pelatihan terhadap guru agar dapat menjadikan guru tersebut menjadi guru profesional yang dapat mengajar serta menjadi pembimbing para peserta didik yang akan menjadi penerus bangsa.










DAFTAR PUSTAKA


Abraham, “Problemtika Pendidikan di Indonesia” dalam http://triananur.wordpress.com/2010/09/24/masalah-pendidikan-di-indonesia-dan-solusinya/.

Ahmad, Zainal Abidin. 1970. Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia.cet.ke-1 Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Arisanti, Desi Intan, 2015, Rendahnya Kualitas Guru dalam Pendidikan, dalam http://www.google.co.id/amp/m.kompasiana.com/amp/desiintan/rendahnya-kualitas-guru-dalam-pendidikan-  di akses pada 15 Mei 2017 pukul 12.20 Wib.

Depdikbud, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang.
Gani, Ali Hasmiyati, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Quantum Teaching Ciputat Press Group.

Hidayatun, Nurul, 2013, Permasalahan Pendidikan di Indonesia, dalam http://hidayatunnurul9.blogspot.co.id/2013/04/permasalahan-pendidikan-di-indonesia.html?m=1 di akses pada 15 Mei 2017 pukul 11.20 Wib.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Masalah di akses pada 22 Mei 2017 pukul 10.05 Wib.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal, 1992. Pengantar Pendidikan.akarta: PT Grasindo.
Jalal, Fasli, Peran Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan SDM dan Pemasyarakatan Budaya Baca, dalam http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/arti-membaca/74joscclean=1&comment­_id=53&showall=1 di akses pada 15 Mei 2017 pukul 12.00 Wib.

Kadir, Sardjan dan Umar Ma’sum, 1982. Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya: Usaha Nasional.

Ramayulis, 2006, Ilmu Pendidikan Islam Cet. V, Jakarta: Kalam Mulia.
Rochaety, Eti dkk., 2006, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Syahdiyah, Halimah, ”Jurnal Ilmiah kacaunya pendidikan di Indonesia”dalam F:\09-09-2016\Jurnal Ilmiah  Kacaunya Pendidikan Di Indonesia.htm.

Tirtarahardja, Umar dan La Sulo, 2005. Pengantar Pendidikan.Jakarta: PT Rineka Cipta.

Uhbiyati, Nur, 1999, Ilmu Pendidikan Islam II, Bandung: CV Pustaka Setia.
Vardiansyah, Dani, 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks.



[1]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 276.
[2]Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Indeks, 2008), h. 70  
[3]https://id.m.wikipedia.org/wiki/Masalah di akses pada 21 mei 2017 pukul 10.05 Wib.

[4]Halimah Syahdiyah, ”Jurnal Ilmiah kacaunya pendidikan di Indonesia dalam F:\09-09-2017\Jurnal Ilmiah  Kacaunya Pendidikan di Indonesia. htm. diakses 15 Februari 2017, pukul 09.15. Wib.
[5]Eti Rochaety, dkk., Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2006), h. 64-65.
[6]Umar Tirtarahardja dan La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta ,2005), h. 226.
[7]Abraham “Problemtika Pendidikan di Indonesia” dalam http://triananur.wordpress.com/2010/09/24/masalah-pendidikan-di-indonesia-dan-solusinya/ htm. Diakses tanggal 16 Februari 2017, pukul 13.14 Wib.
[8]Umar Tirtarahardja dan La Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 232-233.
[9]Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Grasindo, 1992), h. 60-61.
[10]Umar Tirtarahardja dan La Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) h. 234-235.
[11]Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Grasindo, 1992), h. 60.
[12]Umar Tirtarahardja dan La Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) h. 237-240.
[14]Umar Tirtarahardja dan La Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) h. 231.
[15]Umar Tirtarahardja dan La Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) h. 233-234.
[16]Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 191-192.
[17]Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 192-193.
[18]Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 193-194.
[19]Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 194-195.
[20]Hasmiyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008), h. 13.
[21]Zainal Abidin Ahmad, Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1970), h. 15.
[22]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.15.
[23]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam Cet. V, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 342.
[24]Nurul Hidayatun, Permasalahan Pendidikan di Indonesia, 30 April 2013 dalam http://hidayatunnurul9.blogspot.co.id/2013/04/permasalahan-pendidikan-di-indonesia.html?m=1 di akses pada 15 Mei 2017 pukul 11.20 Wib
[25]Fasli Jalal, Peran Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan SDM dan Pemasyarakatan Budaya Baca, dalam http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/arti-membaca/74joscclean=1&comment­_id=53&showall=1 di akses pada 15 Mei 2017 pukul 12.00 Wib.
  
[26]Desi Intan Arisanti, Rendahnya Kualitas Guru dalam Pendidikan, 22 April 2015  dalam http://www.google.co.id/amp/m.kompasiana.com/amp/desiintan/rendahnya-kualitas-guru-dalam-pendidikan-  di akses pada 15 Mei 2017 pukul 12.20 Wib.


Terima kasih semoga bermanfaat :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Aqidah Akhlak Kelas 1 MI tentang Rukun Iman

Evaluasi pembelajaran Bahasa Arab di MI

Laporan Wawancara Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDIT UKHUWAH Banjarmasin