Problema Pendidikan dan pendidikan Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia yang berkualitas
merupakan ujung tombak kemajuan suatu bangsa. Negara-negara maju seperti
Amerika, Inggris, Jerman, dan bahkan Malaysia menempatkan pendidikan sebagai faktor
strategis dalam memajukan bangsanya. Pendidikan yang berkualitas dapat
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Keberhasilan
suatu bangsa dalam membangun pendidikan merupakan barometer tingkat kemajuan bangsa
tersebut.
Pendidikan sudah kita
terima sejak lahir. Pendidikan bisa bersifat formal ataupun informal. Informal
maknanya pendidikan bisa kita dapatkan melalui lingkungan, pergaulan, dan
keseharian di rumah. Sedangkan, formal dalam artian pendidikan diperoleh melalui
jalur resmi pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi.
Di Indonesia, upaya
pembangunan pendidikan formal juga dilakukan di berbagai jenjang, mulai dari
pendidikan dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi. Semua jenjang ini diharapakan
memenuhi fungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional, seperti yang terdapat
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yaitu
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berdasarkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang dirilis pada
tanggal 5 Oktober 2009 Indonesia berada pada kategori Pembangunan Manusia
Menengah dengan Indeks IPM 0,734, dan berada di urutan ke-111 dari 180 negara.
Posisi ini kalah jauh dari negara tetangga kita, Malaysia, yang berada pada
kategori Pembangunan Manusia Tinggi dengan indeks IPM 0,829, dan berada pada
urutan ke-66. IPM merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek
huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM
digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju,
negara berkembang atau
negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh
dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Terlihat jelas bagaiman
kondisi pendidikan bangsa kita dewasa ini. Pada kenyataanya pendidikan belum
sepenuhnya memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui nilai dan manfaat
pendidikan itu sendiri. Rendahnya kualitas lulusan
merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan di
Indonesia belum secara optimal dikembangkan. Relevansi pendidikan dalam hal substansi
dengan kebutuhan masyarakat dinilai masih rendah. Parahnya lagi, pendidikan
menjadi kawasan politisasi dari para pejabat. Semakin tertinggalnya pendidikan
bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi
untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan
merupakan gambaran praktek pendidikan kita.
Menyoal problematika yang
dihadapi bangsa dalam hal pendidikan, penulis tertarik untuk membuat uraian
permasalahan ini dan mengemukakan solusi-solusi yang kiranya dapat direnungkan melalui
sebuah tulisan yang berjudul “Mencermati Berbagai Problem Pendidikan dan
Pendidikan Islam di Indonesia serta Upaya Pemecahan melalui Kebijakan”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa yang dimaksud problematika pendidikan?
2. Apa saja masalah pokok pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana pemecahan masalah yang tepat untuk
mengatasinya?
4. Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya
masalah pendidikan?
5. Apa pengertian Pendidikan Islam?
6. Apa saja masalah pokok pendidikan Islam di Indonesia?
7. Bagaimana pemecahan masalah yang tepat untuk
mengatasinya?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui arti problematika pendidikan.
2. Untuk mengetahui berbagai masalah pokok pendidikan di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui pemecahan dari masalah-masalah
pendidikan.
4. Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi
berkemembangnya masalah pendidikan.
5. Untuk mengetahui pengertian pendidikan Islam.
6. Untuk mengetahui berbagai masalah pendidikan Islam di
Indonesia.
7. Untuk mengetahui pemecahan dari masalah-maslah
pendidikan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Problematika Pendidikan
Problema/problematika berasal dari bahasa
Inggris yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau
masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum
dapat dipecahkan yang menimbulkan permasalahan.[1]
Masalah didefinisikan sebagai suatu pernyataan
tentang keadaan yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Bisa jadi kata yang
digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara
dua factor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan.[2]
Masalah biasanya dianggap sebagai suatu
keadaan yang harus diselesaikan. Umumnya masalah disadari ada saat seorang
individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan keadaan yang
diinginkan. Dalam beberapa literature riset, masalah seringkali didefinisikan
sebagai sesuatu yang membutuhkan alternative jawaban, artinya jawaban masalah
atau pemecahan masalah bisa lebih dari satu. Selanjutnya dengan kriteria
tertentu akan dipilih salah satu jawaban yang paling kecil resikonya. Biasanya,
alternative jawaban tersebut bisa diidentifikasi jika seseorang telah memiliki
sejumlah data informasi yang berkaitan dengan masalah bersangkutan.[3]
Pendidikan ialah berasal dari Bahasa Yunani
“paedagogik” yang berasal dari kata “pais” berarti anak dan “again” berarti
bimbingan. Jadi “paedagogik” artinya bimbingan yang diberikan kepada anak.
Dalam Bahasa Inggris pendidikan diterjemahkan menjadi “Education”. Kata
ini berasal dari Bahasa Yunani “educare” berarti membawa keluar yang
tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar dapat tumbuh dan berkembang.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata
dasar didik dan kecerdasan pikiran yang berarti pendidikan merupakan sebuah
proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok.
Sedangkan definisi Pendidikan menurut
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 Bab I, pasal
1 menggariskan pengertian: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[4]
Adapun yang dimaksud dengan peroblematika
pendidikan adalah persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh dunia pendidikan, khususnya Negara Indonesia.
Maka dapat disimpulkan bahwa problematika
pendidikan adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga
terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses
pemberdayaan maupun pembelajaran, baik yang datang dari individu guru, diri
peserta didik, maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat secara langsung dalam
hidup bermasyarakat.
B.
Masalah Pokok
Pendidikan di Indonesia
Pembangunan pendidikan yang sudah dilaksanakan
sejak Indonesia merdeka telah memberikan hasil yang cukup mengagumkan sehingga
secara umum kualitas sumber daya manusia manusia Indonesia jauh lebih baik.
Namun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita masih ketinggalan jauh.
Oleh Karena itu, upaya yang lebih aktif perlu ditingkatkan agar bangsa kita
tidak menjadi tamu terasing di Negeri sendiri terutama Karena terjajah oleh budaya
asing dan terpaksa menari diatas irama gendang irang lain. Upaya untuk
membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek,
serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relative ringan. Hal
ini disebabkan dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah internal
yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadpi sejumlah
masalah yang sifatnya berantai sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera
diatasi Karena sangat berpengaruhh terhadap pendidikan selanjutnya, ada
beberapa masalah internal pendidikan yang dihadapi, antara lain sebagai
berikut.
1.
Rendahnya pemerataan kesempatan belajar disertai banyaknya peserta
didik yang putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini identic ciri-ciri kemiskinan.
2.
Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam
(IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan
materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek.
3.
Rendahnya efisiensi internal Karena lamanya masa studi melampaui
waktu standar yang sudah ditentukan.
4.
Rendahnya efisiensi eksternal system pendidikan yang disebut dengan
relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik
yang cenderung terus meningkat. Secara empiris kecedrungan meningkatnya
pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang
masih didominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat
mengutamakan efisiensi (padat modal dan teknologi). Dengan demikian pertambahan
kubutuhan akan tenaga kerja jauh lebih kecil dibandingkan pertambahan jumlah
lulusan lembaga pendidikan.
Masalah-masalah di atas erat kaitannya dengan
kendala seperti keadaan geografis, demografis, serta sosio-ekonomi besarnya
jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah geogragis Indonesia cukup luas.
Kemiskinan juga merupakan salah satu kendala yang memiliki hubungan erat dengan
masalah pendidikan. Rendahnya mutu kinerja system sistem pendidikan tidak hanya
disebabkan oleh adanya kelemahan manejemen pendidikan tingkat mikro lembaga
pendidikan, tetapi Karena juga manajemen pendidikan pada tingkat makro seperti
rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan system pendidikan. Sistem dan
tata kehidupan masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan rendahnya mutu
system pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya mutu
peserta didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan program yang ditujukan untuk
mengatasi berbagai permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik
Karena fenomena dan penyebab timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh
wilayah Indonesia.[5]
Sistem pendidikan menjadi
bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai
supra sistem. Pembangunna sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika
tidak singkron dengan pembanguanan nasional. Kaitan yang erat antara bidang
pendidikan sebagai sistem dengan sistem sosial budaya sebagai supra sistem
tersebut, dimana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi
sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi
sangat kompleks. Artinya suatu permasalahan intern dalam sistem pendidikan
selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri.
Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari
kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat disekitarnya, dari mana
murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor
lainnya diluar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar
tersebut.
Berdasarkan kenyataan
tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks,
menyangkut banyak komponen dan melibatkan banyak pihak. Pada dasarnya ada dua
masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita dewasa ini,
yaitui:
-
Bagaimana semua warga Negara
dapat menikmati kesempatan pendidikan.
-
Bagaimana pendidikan dapat
membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat
terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Yang pertama mengenai masalah
pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu, relevansi, dan juga efisiensi
pendidikan.
Seperti telah dikemukakan diatas,
pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi
kesempatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya. Masalah yang
dimaksud adalah:
1.
Masalah Pemerataan
Pendidikan
Dalam melaksanakan fungsinya
sebagai wahana untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan
nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan pendidikan
adalah persoalan bagaiman sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan,
sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk
menunjang pembangunan.
Masalah pemerataan pendidikan
timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak
dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas
pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita Undang-Undang No
4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada bab
XI pasal 17 berbunyi: Tiap-tiap warga Negara republik Indonesia mempunyai hak
yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang
ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaarn pada sekolah itu dipenuhi.[6]
Selanjutnya dalam kaitannya dengan
wajib belajar Bab VI pasal 10 ayat 1 menyatakan: ”semua anak yang berumur 6
tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah,
sedikitnya 6 tahun “ ayat 2 menyatakan: “belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan dari menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban
belajar.
Landasan yuridis pemerataan
pendidikan tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya
pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai akibat penjajahan.
Masalah pemerataan memperoleh
pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh
kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan
kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia baik
mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian
mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, dengan melihat
tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu
menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi dalam pembangunan, maka setelah
upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya pemerataan
mutu pendidikan. Hal ini akan dibicarakan pada butir tentang masalah mutu
pendidikan.
Khusus pendidikan formal atau
pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki
fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan
pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif
dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus
menerus dengan saksama.
Pada jenjang pendidikan dasar,
kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan pendidikan didasarkan atas
pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada seluruh warga Negara perlu di
berikan bekal dasar yang sama. Pada jenjang pendidikan menengah dan terutama
pada jenjang pendidikan yang tinggi, kebijakan pemertaan didasarkan atas
pertimbangan kualitatif dan relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak,
keperluan, tenaga kerja, dan keperluan pengembangan masyarakat, kebudayaan,
ilmu, dan tekonologi. Agar tercapai keseimbangan antara faktor
minat dengan kesempatan memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan yang
seluas-luasnya mengenai bidang-bidang pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya
yang dibutuhkan dalam pembangunan utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan
langka.
Perkembangan upaya pemerataan
pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke pelita. Didalam
Undang-Undang No.2 tahun 1989 tengtang sistem pendidikan nasional III tentang
hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan, pasal 5 menyatakan: ”setiap warga
Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Bahkan dalam pasal
7 mengenai hak telah di tegaskan sebagai berikut: “penerimaan seorang peserta
didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan
jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan
ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Perkembangan iptek menawarkan
beraneka ragam alternatif model pendidikan yang dapat memperluas pelayanan
kesempatan belajar. Dilihat dari segi waktu belajarnya bervariasi dari beberapa
jam, hari, minggu, bulan, sampai tahunan, melalui proses tatap muka sampai pada
lingkungan alam yang dapat mendung.[7]
Jadi intinya dari masalah
pemerataan pendidikan ini adalah persoalah bagaimana system pendidikan dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk memperoleh
pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya
manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila
masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat
ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas
pendidikan yang tersedia.
2.
Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan
jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan
mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen
tenagan terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika
luaran tesebut terjun kelapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai
sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja. Lazimnya masih dilakukan
pelatihan dan pemagangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan
persyaratan kerja dilapangan, dan berkarya.
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya
dilihat pada kualitas keluaranya. Jika tujuan pendidikan nasioanl dijadikan
kriteria, maka pertanyaanya adalah: apakah keluaran dari sistem pendidikan
menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri, anggota masyarakat yang sosial yang
bertanggung jawab. Dengan kata lain keluaran ini mewujudkan diri sebagai
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun
lingkungannya. Kualitas luaran seperti tersebut adalah nurturant effect.
Meskipun disadari bahwa hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak
semata-mata hasil dari sistem pendidikan itu sendiri. Yang menjadi persoalan
ialah bahwa cara pengukuran mutu produk tersebut tidak mudah. Dan pada umumnya
hanya dengan mengasosiasikan dengan hasil belajar yang sering dikenal dengan
EBTA atau hasil sipenmaru.
Padahal hasil belajar yang bermutu
hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar
tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang bermutu.
Jika tidak terjadi belajar secara optimal akan menghasilkan skor hasil ujian
yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah
semu. Berarti pokok permasalahan mutu pendidikan lebih terletah pada masalah
pemprosesan pendidikan. Selanjutnya kelancara pemprosesan pendidikan ditunjang
oleh komponen pendidikan yang terdiri dari peserta didik, tenaga kependidikan,
kurikulum, sarana pembelajaran, dan juga masyarakat sekitar.
Masalah mutu pendidikan juga
mencakup masalah pemerataan mutu, didalam Tap MPR RI tentang GBHN dinyatakan
bahwa titik berat pembanguan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap
jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
khususnya untuk memacu untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu
lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan
matematika. Umumnya pendidikan di seluruh tanah air pada umumnya menunjukkan
daerah pedesaan lebih rendah dari daerah perkotaan.[8]
Jadi inti dari Mutu pendidikan
dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang
diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan. Pertama dilakukan oleh lembaga
peghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem
sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tersebut terjun ke lapangan kerja
penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem
tes unjuk kerja (perfomance test). Lazimnya sesudah itu masih dilakukan
pelatihan/ pemagangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan
kerja di lapangan.
3.
Masalah Efisiensi
Pendidikan
Pada hakikatnya masalah efisiensi
adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam pemanfaatan dana dan
sumber daya manusia.
Efesiensi artinya dengan
menggunakan tenaga dan biaya sekecil-kecilnya dapat diperoleh hasil yang
sebesar-besarnya. Jadi, sistem pendidikan yang efesien ialah dengan tenaga dan
dana yang terbatas dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang berkualitas
tinggi. Oleh sebab itu, keterpaduan pengelolaan pendidikan harus tampak
diantara semua unsur dan unit, baik antar sekolah negeri maupun swasta,
pendidikan sekolah maupun luar sekolah, antara lembaga dan unit jajaran
depertemen pendidikan dan kebudayaan.
Para ahli banyak mengatakan bahwa
sistem pendidiakn sekarang ini masih kurang efisien. Hal ini tampak dari
banyaknya anak yang drop-out, banyak anak yang belum dapat
pelayanan pendidikan, banyak anak yang tinggal kelas, dan kurang dapat
pelayanan yang semestinya bagi anak-anak yang lemah maupun yang luar biasa
cerdas dan genius.
Oleh karena itu, harus berusaha
untuk menemukan cara agar pelaksanaan pendidikan menjadi efisien.[9]
Masalah efisiensi pendidikan
mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikn mendayagunakan sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat
sasaran dikatakan efisiensinya tinggi.
Beberapa masalah efisiensi
pendidikan yang penting adalah:
a.
Bagaimana tenaga
kependidikan difungsikan
b.
Bagaimana prasarana
dan sarana pendidikan digunakan
c.
Bagaimana pendidikan
diselenggarakan
d.
Masalah efisiensi
dalam memfungsikan tenaga.
Masalah ini meliputi pengangkatan,
penempatan, dan pengembanagan tenaga kependidikan. Masalah pengangkatan terletak
pada kesenjanagn antara stok tenaga yang tesedia dengan jatah pengangkatan yang
sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terakgir ini jatah pengangkatan setiap
tahunnya hanya sekitar 20 % dari kebutuhan tenaga lapangan.
Sedangkan persediaan tenaga siap di
angkat lebih bear daripada kbutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih
dari 80% tenaga yang tersedia tidak segera difungsikan. Ini terjadi
kemubadziran yang terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak
segera terbayar kembali melalui pengabdian. Dan tenaga kependidikan khususnya
guru tidak disiapkan untk berwirausaha.
Masalah penempatan guru, khususnya
guru bidang penempatan studi, sering mengalami kepincanagn, tidak disesuaikan
dengan kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah menerima guru baru dalam bidang
studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedang guru bidang studi
yang dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah pengangkatan sehingga
di tempatkan didaerah sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap
mengajarkan bidang studi diluar kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang
direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah
penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring
tenaga kerja yang tesedia didaerah terpencil.
Masalah pengembangan tenaga
kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong
hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian
dari para pelaksana lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan pengembanagn
tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk
dapat siap melaksanakan kurikulum baru sangat memakan waktu. Akibatnya terjadi
kesenjangan antara saat di rencanakan berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan.dan pendidikan berlangsung kurang efisien
dan efektif.[10]
4.
Masalah Relevansi
Pendidikan
Masalah relevensi adalah masalah
yang timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan dengan pembangunan
nasional setara kebutuhan perorangan, keluarga, dan masyarakat, baik dalam
jangka pendek, maupun dalam jangka panjang.
Pendidikan merupakan faktor
penunjang bagi pembangunan ketahanan nasional. Oleh sebab itu, perlu
keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dengan pembangunan
nasional tersebut. Sebagai contoh pendidikan di sekolah harus di rencanakan
berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional, serta
memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang di perlukan sesuai dengan keadaan
lingkungan di wilayah-wilayah lingkungan tertentu.[11]
Telah dijelaskan pada bagian
terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumber daya manusia untuk
pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana
sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional.
Luaran pendidikan diharapkan dapat
mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi,
sektor jasa. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem
pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik
yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan
oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi
seperti yang dinyatakan tersebut cukup ideal jika dikaitkan dengan kondisi
sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang pekerjaan yang ada antara
lain sebagai berikut:
a.
Status lembaga
pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
b.
Sistem pendidikan
tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap kembang.
c.
Peta kebutuhan tenaga
kerja dengan persyaratannya yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh
lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak tersedia.
Dari keempat macam masalah
pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika pendidikan:
1)
Dapat menyediakan
kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga Negara yang butuh pendidikan
dapat ditampung daalm suatu satuan pendidikan.
2)
Dapat mencapai hasil
yang bermutu artinya: perencanaan, pemprosesan pendidikan dapat mencapai hasil
sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
3)
Dapat terlaksana
secara efisien artinya: pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan dan
tujuan yang ditulis dalam rancangan.
4)
Produknya yang bermutu
tersebut relevan, artinya: hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dan pembangunan.[12]
Pada dasarnya pembangunan dibidang
pendidikan tentu menginginkan tercapainya pemerataan pendidikan dan pendidikan
yang bermutu sekaligus. Ada dua faktor yang dapat dikemukakan sebagai penyebab
mengapa pendidikan yang bermutu belum dapat diusahakan pada saat demikian,
yaitu:
Pertama: gerakan perluasan pendidikan untuk melayani pemerataan
kesempatan pendidikan bagi rakyat banyak memerlukan penghimpunan dan pengerahan
dana dan daya.
Kedua: kondisi satuan-satuan pendidikan pada saat demikian
mempersulit upaya peningkatan mutu karena jumlah murid dalam kelas terlalu
banyak, pengerahan tenaga pendidik yang kurang kompeten, kurikulum yang belum
mantap, sarana yang tidak memadai.
Meskipun demikian pemerataan
pendidikan tidak dapat diabaikan karena upaya tersebut, terutama pada saat
suatu bangsa sedang memulai membangun mempunyai tujuan ganda, yaitu disamping
tujuan politis juga tujuan pembanguan yaitu memberikan bekal dasar kepada warga
Negara agar dapat menerima informasi dan memiliki pengetahuan dasar untuk
mengembangkan diri sehingga dapat perpatisipasi dalam pembangunan.
Dalam uraian tersebut tampak bahwa
masalah pemerataan berkaitan erat dengan masalah mutu pendidikan. Bertolak dari
gambaran tersebut terlihat juga kaitannya dengan masalah efisiensi. Karena
kondisi pelaksanaan pendidikan tidak sempurna, maka dengan sendirinya
pelaksanaan pendidikan dan khususnya proses pembelajaran berlangsung tidak
efisien. Hasil pendidikan belum dapat diharapkan relevan dengan kebutuhan
masyarakat pembangunan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.[13]
C. Solusi Pemecahan
Masalah Pendidikan di Indonesia
1.
Solusi Masalah Pemerataan
Pendidikan
Banyak macam pemecahan masalah
yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendidikan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui
cara konvesional dan cara inovatif.
Cara konvesional antara lain:
a.
Membangun gedung
sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.
b.
Menggunakan gedung
sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan dengan itu yang perlu
digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar
bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.
Cara Inovatif antara lain:
Sistem pamong (pendidikan oleh
masyarakat, orang tua, dan guru) atau inpact sistem, sistem tersebut dirintis
di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
a.
SD kecil pada daerah
terpencil
b.
Sistem guru kunjung
c.
SMP terbuka
d.
Kejar paket A dan b
2.
Solusi Masalah Mutu,
Efisiensi dan Relevansi Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan
jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya
pemecahan masalah mutu pendiidkan bersasaran pada perbaikkan kualitas komponen
pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada
gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan
pengalaman belajar peserta didik, dan menghasilkan hasil pendidikan.
Upaya pemecahan masalah masalah
mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat sebagai fisik
dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai berikut:
a.
Seleksi yang lebih
rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT.
b.
Pengembangan kemampuan
tenaga kependidikan melalui studi lanjut.
c.
Penyempurnaaan
kurikulum
d.
Pengembanagan
prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
e.
Penyempurnaan sarana
belajar seperti buku paket, media pembelajaran
f.
Peningkatan
adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
D. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan
Permasalahan pokok pendidikan
sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah pembangunan mikro, yaitu
masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan sendiri. Masalah
mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan, yaitu masalah di
luar sistem pendidikan, sehingga harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah mikro
pendidikan. Masalah makro ini meliputi masalah perkembangan internasional,
masalah demografi, masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta masalah
perkembangan regional. Masalah-masalah makro yang merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan, yaitu antara lain:
1.
Perkembangan Iptek Dan Seni
a.
Perkembangan Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara
pendidikan dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan
merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam
semesta, dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Sebagai contoh hubungan antara
pendidikan dan iptek, misalnya sering suatu teknologi baru yang digunakan suatu
proses produksi menimbulkan kondisi ekonomi sosial baru lantaran perubahan
persyaratan kerja, dan mungkin juga penguraian jumlah tenaga kerja atau jam
kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem pelayanan baru, sampai pada
berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal bisa mempengaruhi
perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tunjangan
pendidikan, otomatis juga sarana sarana penunjangnya seperti sarana
laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu juga membaw masalah
dalam skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Contoh di atas
memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan.
Di samping pengaruh tidak langsung juga banyak pengaruh yang langsung dalam
sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan
aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi
kekurangan guru dan gedung sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka,
pengadaan guru relatif cepat seperti dengan program diploma, perlindungan
terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Hampir setiap inovasi
mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa
inovasi itu pasti membawa hasil. Kedua, pada dasarnya orang merasa ragu
dan gusar jika menghadapi hal baru. Masalahnya ialah bagaimana cara
memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengandung
dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan prinsip-prinsip)
dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya).
b.
Perkembangan Seni
Kesenian merupakan aktivitas
berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menghasilkan sesuatu
yamg indah. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi
(mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam
menemukan keindahan. Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya
manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat
mengisi pengembangan dominan afektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif
serta keterampilan disamping domain kognitif yang sudah digarap melalui program
/bidang studi yang lain. Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia
seni dengan segenap cabangnya telah mengalami perkembangan pesat dan semakin
mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.[16]
2.
Laju Pertumbuhan Penduduk
Masalah kependudukan dan
kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu:
a.
Pertambahan Penduduk.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk
maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang
terselenggaranya pendidikan harus di tambah. Dan ini berarti beban pembangunan
nasional menjadi bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang dibarengi
dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan
berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar
menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja, dan
penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan
demikian terjadi pergesaran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk
sekolah lanjutan cenderung lebih meningkat dibanding dengan permintaan akan
fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan, permintaan untuk lanjutan
keperguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk usia tua yang
jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan non-formal.
b.
Penyebaran Penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh
pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat penduduk, terutama di
kota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu daerah pedalaman
khususnya di daerah terpencil yangberlokasi di pegunungan dan di pulau-pulau.
Sebaran penduduk seperti digambarkan itu menimbulkan kesulitan dalam penyediaan
sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunya SD kecil untuk melayani
kebutuhan akan pendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di samping SD yang
reguler. Belum lagi kesulitan dalam hal penyediaan dan penempatan guru.[17]
3.
Aspirasi Masyarakat
Dalam dua dasa warsa terakhir ini
aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya aspirasi
terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya
ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan dianggap
memberi jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian ditangga
sosial. Gejala yang timbul ialah membanjirnya pelamar pada
sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota, di samping
pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan nonformal.
Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa
pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah
murid dan siswa perkelas melebihi yang semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak,
diadakannya kesempatan belajar bergilir pagi dan sore dengan pengurangan jam
belajar, kurang sarana belajar, kekurangan guru, dan seterusnya.
Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat
(yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu
budaya. bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai
sesuatu yang bernilai dan baik.[18]
4.
Keterbelakangan Budaya dan Sarana Kehidupan
Keterbelakangan budaya adalah
istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya
sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Bagi masyarakat
pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai
dan baik. Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, apalagi
mandeg, tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya
yang berubah jika tidak seluruhnya secara utuh. Perubahan kebudayaan terjadi
karena ada penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat
sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material seoerti peralatan-peralatan
pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi, dan yang bersifat non
matreial seperti paham atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya
menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya
terjadi karena:
a.
Letak geografis tempat
tinggal suatu masyarakat (misal terpencil)
b.
Penolakan masyarakat
terhadap datangnya unsur budata baru karena tidak dipahami atau karena
dikhawatirkan akan merusak sendik masyarakat.
c.
Ketidakmampuan
masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya
keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
a.
Masyarakat daerah
terpencil.
b.
Masyarakat yang tidak
mampu secara ekonomis.
c.
Masyarakat yang kurang
terdidik.
Yang menjadi masalah ialah bahwa
kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut berperan serta dalam
pembangunanmsebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti
permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaimana
cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan
mereka. Jika sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat terbelakang
kebudayaanya berarti melibatkan mereka untuk berperan serta dalam pembangunan.[19]
E. Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses
mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif
dan efisien. Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh iala sebagai
berikut:
Pertama, menurut Ahmadi
mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah
manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam.
Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai
pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya
dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang
membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik
jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak
didik nantinya yang didasarkan pada hokum-hukum Islam.
Tujuan pendidikan
Islam menurut Al-Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai
manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan
ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk social dan tanggung jawabnya
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, (3) menjelaskan hubungan manusia dengan
alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan
alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya dengan Kholik sebagai pencipta alam
semesta.[20]
Dalam mengembangkan kepribadian Islam,
paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah saw., yaitu: (1). Menanamkan akidah Islam kepada
seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu
sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang
mendalam. (2) Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah
memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas
pondasi akidah yang diyakininya. (3) Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah
terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh
mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada
Allah SWT.[21]
F. Masalah
Pendidikan Islam di Indonesia
Sebagai negara yang
berpenpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat
signifikan di Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan
karakter, sehingga masyarkat yang tercipta merupakan cerminan masyrakat islami.
Dengan demikian Islam benar-benar mejadi rahmat bagi seluruh alam.
Pendidikan Islam
yang hakikatnya bersumber pada nilai-nilai ajaran Islam yang sesungguhnya akan
dijadikan sebuah pedoman untuk menjalani kehidupan di dunia serta akhirat
kelak. Namun, dengan era globalisasi yang ada membuat pendidikan Islam sendiri
mengalami masalah yang dapat dikatakan kompleks mulai dari masalah
konseptual-teoritis, hingga permasalahan operasional-praktis.
Masalah-masalah yang
tidak terselesaikan dalam pendidikan Islam inilah yang menjadikan pendidikan
Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya. Dari segi kuantitatif serta
kualitatif pendidikan Islam sebagai pendidikan yang dinomor duakan akan menjadi
dampak buruk tersendiri bagi pemeluk agama Islam, yaitu salah satu dampak buruk
tersebut ialah semakin maraknya pergaulan bebas dikalangan remaja-remaja Islam.
Ketertinggalan
pendidikan Islam dari lembaga pendidikan lainnya setidaknya disebabkan oleh
beberapa factor, yaitu:
1. Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon
perubahan dan kecendrungan masyarakat sekarang dan yang akan datang.
2. Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih cenderungmengorientasikan
diri pada bidang-bidang homaniora dan ilmu-ilmu social ketimbang ilmu-ilmu
eksakta semacam fisika, kimia, biologi dan matematika modern.
3. Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa silam ketimbang
berorientasi pada masa depan, atau kurang bersifat future oriented.
4. Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam
penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya.[22]
Adapun masalah
pendidikan Islam yang ditemukan di Indonesia antara lain sebagai berikut.
a.
Sikap Dikotomi dalam Pendidikan Islam
Ketertinggalan
pendidikan Islam salah satunya dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap
pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi
yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang
terpisah dengan kehidupan jasmani.
Oleh karena itu,
akan tampak adanya perbedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan
agama, yang sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang
yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara
pandang dikotomi. Adanya dikotomi inilah yang salah satu penyebab
ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan
antara akal dan wahyu, serta pikir dan zikir.[23]
Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatic, yaitu kurang
berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena
pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai
hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah
Allah).
Terjadinya
pemilahan-pemilahan antara ilmuan umum dan ilmu agama yang membawa umat Islam
kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran Karena ilmu-ilmu umum
dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam. Agama
dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak
memperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas
keilmuan di tanah air sekarang ini dengan dampak negative yang ditimbulkan dan
dirasakan oleh masyarakat. Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di
luar system pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam pendidikan
Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.
b.
Lemahnya dalam Manajemen Pendidikan
Masalah manajemen pendidikan menyangkut efisiensi dalam pemanfaatan
sumber yang ada. Masih lembahnya manajemen pendidikan kita menunjukkan system
pendidikan nasional masih belum efisien. Hal itu bisa ditunjukkan bahwa
pengembangan system pendidikan nasional kita bukan hanya memerlukan
konsep-konsep manajemen pendidikan yang mantap, tetapi juga memerlukan
pengetahuan dan pengalaman manajemen pendidikan secara sistematis yang
dikembangkan dan diterapkan dalam situasi dan kondisi social ekonomi negara
kita yang beraneka ragam tersebut. Sejalan dengan itu kebutuhan manajer
pendidikan yang profesional sudah merupakan keharusan.
Dalam kajian ekonomi, pendidikan dapat dipandang sebagai suatu industry,
sebagai suatu industry pengembanagan manusia pendidikan harus dikelola secara
professional. Ketiadaan manager professional ini yang melingkupi kesemua
jenjang dan jenis pendidikan menuntut adanya kerja keras dari berbagai macam
pihak, untuk bias tampil unggul dalam dunia globalisasi, pendidikan bukan
merupakan factor yang paling menentukan, meskipun penting mesti harus
diperhitungkan dan ditingkatkan kekuatan factor-faktor lain di samping
pengelolaan sumber daya manusia dan alam dan sumber-sumber lain yang terbatas
perlu dialokasikan secara tepat, sangat menentukan keberhasilan suatu program
pendidikan yang diinginkan.
Sebagai contoh masalah pengelolaan sekolah dasar (SD) merupakan masalah
klasik dari kesemrawutan model manjemen pendidikan di Negera kita, yang pada
gilirannya memberikan efek pada setiap usaha untuk meningkatkan keluaran system
pendidikan. Munculnya Undang-Undang Tahun 1989 mengenai pelaksanaannya,
ternyata belum banyak menolong dalam membenahi manjemen sekolah dasar, begitu
pula otonomi pengelolaan pendidikan tinggi, khususnya yang menyangkut
masalah-masalah akademik dan financial masih perlu penyesuaian dengan
kelembagaan yang ada pada system pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan kita dibentuk berdasarkan fungsi peranan pendidikan
yang sudah ketinggalan zaman. Sebagaimana dengan kebanyakan lembaga-lembaga
social: uang, lembaga-lembaga itu tidak dapat lagi mengikuti cepatnya laju
pembangunan. Tidak mengherankan Tilaar mengatakan bahwa pengelolaan (manajemen)
pendidikan di Indonesia, termasuk lembaga dalam Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) perlu ditata kembali atau perlu direstrukrisasi.[24]
c. Belum Terwujudnya Masyarakat Belajar
Salah satu ciri perwujudan masyarakat belajar adalah terwujudnya
masyarakat gemar membaca atau dengan kata lain membaca menjadi aktivitas utama
setiap anggota masyarakat dalam masyarakat belajar. Sudah sangat lama bangsa
Indonesia mengingunkan terwujudnya budaya membaca di kalangan masyarakat. Namun
ternyata sampai dengan usia kemerdekaan 60 an tahun ini, budaya membaca itu
belum nampak terwujud. Kebiasaan membaca hanya menjadi perilaku sebagian kecil
dari komunitas kaum terpelajar dan mereka sejak lama memang telah mempunyai
tradisi gemar membaca dari keluarganya. Pada sebagian besar masyarakat
Indonesia membaca lebih dirasakan sebagai beban daripada sebagai sebuah
kegiatan yang banyak bermanfaat.
Dengan situasi demikian, maka perwujudan masyarakat belajar yang ditandai
dengan tampilnya budaya membaca, nampaknya masih perlu diupayakan dengan
berbagai cara. Bagi jajaran Departemen Pendidikan Nasional, lahirnya sebuah prototype masyarakat yang memiliki
budaya membaca yang baik, merupakan salah satu komitmen yang ingin selalu
diperjuangkan. Sungguh mudah untuk membuat sebuah pemahaman bahwa membaca
merupakan sebuah aktivitas utama dalam pembelajaran dan pendidikan. Tanpa
hadirnya aktivitas membaca sebagai sebuah perilaku budaya yang terlembagakan,
maka proses pendidikan dan pembelajaran akan banyak mengalami kendala. Secara
sosio-psikologis, orang melakukan aktivitas membaca pasti dengan dengan alasan,
tujuan dan makna yang berbeda-beda, di mana hal itu tergantung pada banyak hal.
salah satu factor penentu varibialitas alasan, tujuan dan makna membaca adalah
karakteristik pribadi dan karakteristik sosiologis personal.[25]
b. Profesionalitas Guru yang kurang Memadai
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Karena sesungguhnya pendidik itu pendidik sebagai
orang yang memikul tanggung jawab sebagai pendidik yaitu manusia dewasa yang
mempuyai hak dan kewajiban dalam mendidik peserta didik. Oleh karena itu,
seorang pendidik memikul tanggung jawab yang bersifat personal dalam arti bahwa
setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial
dalam arti bahwa setiap orang yang bertanggung jawab atas pendidikan orang
lain.
Saat
ini banyak sekali orang ingin menjadi seorang guru, julah guru di Indonesia pun
sudah memadai tetapi permasalahannya ialah banyak guru yang tidak memnuhi
persyaratan untuk menjadi seorang guru professional, dan guru di Indonesia
kurang memerankan fungsinya sebagai guru professional.
Banyak
guru di sekolah-sekolah yang bukan berasal universitas yang bukan diperuntukkan
untuk menjadi seorang guru, bahkan ada guru yang bukan lulusan sarjana, maka
dari factor tersebut banyak guru yang tidak dapat mengajar dengan baik, Karena
guru tersebut tidak mengetahui bagaimana cara mengajar, serta membimbing
peserta didik dengan baik.
Faktor
lainnya yaitu kesejahteraan guru juga kurang diperhatikan, banyak guru yang
masih mendapatkan pendapatan yang sanagt minim, oleh Karena itu banyak guru
yang mengambil pekerjaan di dua tempat, dan menyebabkan guru tesrsebut kurang
focus dalam mengajar seperti sekedar hanya memberikan materi peserta didik
tanpa memeberikan bimbingan kepada peserta didiknya.
Faktor
lainnya yang berkaitan dengan kualitas guru di Indonesia yaitu banyaknya guru
yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, banyak guru yang
tidak dapat menggunkan alat-alat canggih seperti komputer serta alat bantu
lainnya dalam pembelajaran dan guru juga tidak menguasai materi yang digunakan
untuk mengajarkannya kepada peseta didik.[26]
G.
Solusi
Pemecahan Masalah Pendidikan Islam di Indonesia
a.
Solusi Problem Konseptual-Teoritis (Sikap
Dikotomi)
Mencermati kenyataan tentang konsep dikotomi pendidikan, maka mau tidak mau
persoalan konsep dualisme-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan
dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis
departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini
nanti akan memeberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis
dan moral bagi pendidikan.
Pemisahan anatr ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi
sebuah upaya penyatuan keduanya dalam satu system pendidikan integralistik.
Namun persoalan integrase ilmu dan agama dalam satu system pendidikan ini
bukanlah satu persoalan yang mudah, melainkan harus atas pemikiran filosofis
yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya sekedar tambal sulam.
Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan
adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran
Islam, kemudian mengembangkan secara empiris prinsip-prinsip yang mendasari
terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio kultural) Filsafat integralisme
adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternative dari pandangan
holistic yang berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan filsafat integralistik ini adalah bahwa yang mutlak dan
yang nisbi merupakan satu kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus
sebagaimana pandangan ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi ini, tentang ilmu
juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama
dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu secular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari
pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada
permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.
b.
Lemahnya dalam manajemen dalam Pendidikan
Islam
Solusi dari lemahnya dalam manajemen dalm pendidikan Islam yaitu
diperlukannya manajemen yang sesuai dengan dan tentunya manajer-manjer
pendidikan yang professional dengan menggunakan strategi-strategi untuk
mengelola dan menjalankan tugas yang di emban tersebut untuk menghadapi
masyarakat teknologi dan informasi, serta profesi guru sebagai manajer
pendidikan untuk mempersiapkan masyarakat masa depan dan harus adanya
kerjasama.
Beberapa kasus mengenai manajemen pendidikan, contoh kasus dari pelaksanaan
manajemen pendidikan yang terjadi di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi
dalam pelaksanaan manajemen pendidikan. Beberapa pertimbangan tentang munculnya
berbagai kasus dalam manajemen pendidikan adalah didasari oleh berbagai
fenomena yang dihadapi oleh bangsa. Misalnya era industrialisasi dimana pada
masa ini tumbuh berkembang industry-industri. Perkembangan ini menuntut
ketersediaannya tenag terampil yang memiliki keahlian yang dibutuhkan industry.
Era globalisasi dimana menuntut ketersediaannya Sumber Daya Manusia yang
handal, yang mampu berkompetesi dan kommparasi. Dan semuanya itu dalam rangka
mencapai cita-cita nasional yaitu masyarakat adil dan makmur. Sama halnya
dengan Pendidikan menuntut manejer-manejer yang handal dan profesional
c.
Belum Terwujudnya Masyarakat Belajar
Solusi dari belum
terwujudnya masyarakat belajar adalah, dengan cara pendidikan nonformal dalam
usahanya memberi pelayanan kepada masyarakat melaksanakan program peningkatan
SDM dan memasyarakatkan budaya baca adalah dengan Pendirian Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) yang mana secara umum mempunyai tujuan untuk membangkitkan
minat dan budaya baca masyarakat untuk membaca dan belajar sehingga tercipta
masyarakat belajar. Sedangkan untuk mebudayakan anak kita gemar dalam membaca
itu merupakan tugas orang tua, memberikan solusi dengan menciptakan kebiasaan
gemar membaca buku caranya dari orang tuanya memberikan contoh bahwa membaca
buku itu sangat penting dalam memperluas wawasan dan di dalam rumah
memberikan/menyediakan buku-buku yang disesuaikan dengan kebutuhan anak.
d.
Profesionalitas Guru yang Kurang Memadai
Solusi dari professional guru yang kurang memadai yaitu, dari factor yang
disebutkan di atas sekolah juga harus dapat lebih menyeleksi calon guru
tersebut, pemerintah juga harus lebih bisa untuk memperhatikan pendapatan guru
seperti guru-guru yang masih berstatus sebagai guru honorer agar guru merasa
termotivasi dan guru tersebut akan mengajar siswanya dengan baik, dan
pemerintah dapat memberikan pelatihan terhadap guru agar dapat menjadikan guru
tersebut menjadi guru profesional yang dapat mengajar serta menjadi pembimbing
para peserta didik yang akan menjadi penerus bangsa.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Problematika
pendidikan adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga
terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses
pemberdayaan maupun pembelajaran, baik yang datang dari individu guru, diri
peserta didik, maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat secara langsung dalam
hidup bermasyarakat.
Bentuk
problematika yang terjadi dalam pendidikan secara global ialah adalah Masalah
Pemerataan Pendidikan, Masalah Mutu Pendidikan, Masalah Efisiensi Pendidikan,
serta Masalah Relevansi Pendidikan. Faktor yang mempengaruhi berkembangnya
masalah pendidikan di Indonesia adalah perkembangan iptek dan seni, laju
pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat dan keterbelakanagn budaya dan sarana
kehidupan.
Upaya
pemacahan yang diberikan terhadap masalah pemerataan pendidikan adalah membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan
belajar serta menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian
pagi dan sore). Sedangkan solusi pemecahan masalah mutu, efisiensi dan relevan
adalah dengan menyeleksi
yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT,
mengembangkan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut. dan
menyempurnakan kurikulum.
Sedangkan Bentuk masalah yang terdapat
dalam pendidikan Islam adalah Sikap dikotomi dalam pendidikan Islam, lemahnya
dalam manajemen pendidikan, belum terwujudnya masyarakat belajar dan
profesionalitas guru yang kurang memadai.
Upaya pemecahan yang diberikan adalah sebagai berikut: Solusi dari lemahnya
dalam manajemen dalm pendidikan Islam yaitu diperlukannya manajemen yang sesuai
dengan dan tentunya manajer-manjer pendidikan yang professional dengan
menggunakan strategi-strategi untuk mengelola dan menjalankan tugas yang di
emban tersebut untuk menghadapi masyarakat teknologi dan informasi, serta
profesi guru sebagai manajer pendidikan untuk mempersiapkan masyarakat masa
depan dan harus adanya kerjasama.
Solusi belum terwujudnya masyarakat belajar dengan cara pendidikan
nonformal, usahanya memberi pelayanan kepada masyarakat melaksanakan program
peningkatan SDM dan memasyarakatkan budaya baca adalah dengan Pendirian Taman
Bacaan Masyarakat (TBM) dan tugas orang tua di rumah, memberikan solusi dengan
menciptakan kebiasaan gemar membaca buku caranya dari orang tuanya memberikan
contoh bahwa membaca buku itu sangat penting dalam memperluas wawasan dan di
dalam rumah menyediakan buku-buku yang disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Profesionalitas guru yang kurang memadai, Solusinya yaitu, dari factor yang
disebutkan di atas sekolah juga harus dapat lebih menyeleksi calon guru
tersebut, pemerintah juga harus lebih bisa untuk memperhatikan pendapatan guru
seperti guru-guru yang masih berstatus sebagai guru honorer agar guru merasa
termotivasi dan guru tersebut akan mengajar siswanya dengan baik, dan
pemerintah dapat memberikan pelatihan terhadap guru agar dapat menjadikan guru
tersebut menjadi guru profesional yang dapat mengajar serta menjadi pembimbing
para peserta didik yang akan menjadi penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, “Problemtika Pendidikan di Indonesia”
dalam http://triananur.wordpress.com/2010/09/24/masalah-pendidikan-di-indonesia-dan-solusinya/.
Ahmad, Zainal Abidin. 1970. Memperkembang dan
Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia.cet.ke-1 Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
Arisanti, Desi Intan, 2015, Rendahnya Kualitas Guru dalam Pendidikan, dalam http://www.google.co.id/amp/m.kompasiana.com/amp/desiintan/rendahnya-kualitas-guru-dalam-pendidikan- di akses pada 15
Mei 2017 pukul 12.20 Wib.
Depdikbud, 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta
: Bulan Bintang.
Gani,
Ali Hasmiyati, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta
: Quantum Teaching Ciputat Press Group.
Hidayatun, Nurul, 2013, Permasalahan Pendidikan di Indonesia, dalam http://hidayatunnurul9.blogspot.co.id/2013/04/permasalahan-pendidikan-di-indonesia.html?m=1 di akses pada 15 Mei 2017 pukul 11.20 Wib.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Masalah
di akses pada 22 Mei 2017 pukul 10.05 Wib.
Idris, Zahara
dan
Lisma Jamal, 1992. Pengantar
Pendidikan.akarta:
PT Grasindo.
Jalal, Fasli, Peran
Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan SDM dan Pemasyarakatan Budaya Baca,
dalam http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/arti-membaca/74joscclean=1&comment_id=53&showall=1 di akses pada 15 Mei 2017 pukul 12.00 Wib.
Kadir, Sardjan dan Umar Ma’sum, 1982. Pendidikan
di Negara Sedang Berkembang, Surabaya: Usaha
Nasional.
Ramayulis,
2006, Ilmu Pendidikan Islam Cet. V, Jakarta: Kalam Mulia.
Rochaety, Eti
dkk., 2006, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Syahdiyah, Halimah, ”Jurnal Ilmiah kacaunya pendidikan di Indonesia”dalam F:\09-09-2016\Jurnal
Ilmiah Kacaunya Pendidikan Di
Indonesia.htm.
Tirtarahardja,
Umar dan La Sulo, 2005. Pengantar
Pendidikan.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Uhbiyati,
Nur, 1999, Ilmu Pendidikan Islam II,
Bandung: CV Pustaka Setia.
Vardiansyah,
Dani, 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi:
Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks.
[3]https://id.m.wikipedia.org/wiki/Masalah
di akses pada 21 mei 2017 pukul 10.05 Wib.
[4]Halimah
Syahdiyah, ”Jurnal
Ilmiah kacaunya pendidikan di Indonesia” dalam F:\09-09-2017\Jurnal
Ilmiah Kacaunya Pendidikan di Indonesia. htm. diakses 15 Februari 2017, pukul 09.15. Wib.
[5]Eti Rochaety,
dkk., Sistem Informasi Manajemen
Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2006), h. 64-65.
[7]Abraham “Problemtika
Pendidikan di Indonesia” dalam http://triananur.wordpress.com/2010/09/24/masalah-pendidikan-di-indonesia-dan-solusinya/ htm.
Diakses tanggal 16 Februari 2017, pukul 13.14 Wib.
[8]Umar Tirtarahardja dan La
Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 232-233.
[10]Umar Tirtarahardja dan La
Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) h. 234-235.
[12]Umar Tirtarahardja dan La
Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) h. 237-240.
[15]Umar Tirtarahardja dan La
Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) h. 233-234.
[16]Sardjan
Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di
Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 191-192.
[17]Sardjan
Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di
Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 192-193.
[18]Sardjan
Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di
Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 193-194.
[19]Sardjan
Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di
Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 194-195.
[20]Hasmiyati Gani Ali, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008), h.
13.
[21]Zainal Abidin Ahmad, Memperkembang
dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1970), h. 15.
[24]Nurul
Hidayatun, Permasalahan Pendidikan di
Indonesia, 30 April 2013 dalam http://hidayatunnurul9.blogspot.co.id/2013/04/permasalahan-pendidikan-di-indonesia.html?m=1 di akses
pada 15 Mei 2017 pukul 11.20 Wib
[25]Fasli
Jalal, Peran Pendidikan Luar Sekolah
dalam Pembangunan SDM dan Pemasyarakatan Budaya Baca, dalam http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/arti-membaca/74joscclean=1&comment_id=53&showall=1 di akses
pada 15 Mei 2017 pukul 12.00 Wib.
[26]Desi Intan
Arisanti, Rendahnya Kualitas Guru dalam
Pendidikan, 22 April 2015 dalam http://www.google.co.id/amp/m.kompasiana.com/amp/desiintan/rendahnya-kualitas-guru-dalam-pendidikan- di akses pada 15 Mei 2017 pukul 12.20 Wib.
Terima kasih semoga bermanfaat :)
Komentar
Posting Komentar